Selasa 23 Jan 2024 12:54 WIB

Ekonom Ungkap Keunggulan dan Tantangan Pengembangan Hilirisasi Nikel

Bhima juga meminta pemerintah tidak terlalu mudah memberikan izin smelter baru.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Ahmad Fikri Noor
Ilustrasi pengolahan nikel.
Foto: EPA-EFE/MAST IRHAM
Ilustrasi pengolahan nikel.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hilirisasi nikel menjadi salah satu topik yang diperbincangkan dalam debat capres dan cawapres. Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menjelaskan nikel merupakan bahan baku baterai dengan daya tempuh lebih lama untuk mobil listrik dibangkitkan bahan baku alternatif lain seperti Lithium Ferro Phosphate (LFP).

"Kalau dipasang di mobil listrik, (bahan baku nikel) itu masih lebih kompetitif dibandingkan alternatif seperti LFP," ujar Bhima saat dihubungi Republika di Jakarta, Selasa (23/1/2024).

Baca Juga

Bhima mengatakan daya tahan yang lebih lama menjadi keunggulan utama nikel ketimbang bahan baku alternatif lain untuk mobil listrik, baik untuk kendaraan pribadi maupun kendaraan logistik berbasis listrik.

Kendati begitu, Bhima menyampaikan mayoritas produksi nikel Indonesia selama ini ialah feronikel atau nickel pig iron (NPI) untuk mensuplai kebutuhan stainless steel atau besi/baja tahan karat. Bhima mengatakan 90 persen dari produksi nikel tersebut ditujukan untuk ekspor dalam pemenuhan industri besi dan baja yang ada di Cina. 

"Itu faktanya, jadi Indonesia ini juga harus melihat, apakah kita sebenarnya melakukan eksploitasi nikel dengan smelter yang cukup masif ini untuk pemenuhan industri besi baja internasional atau membangun industri baterai di dalam negeri," ucap Bhima.

Bhima memperingatkan sejumlah ancaman pemanfaatan nikel sebagai bahan baku mobil listrik. Pertama, keterbatasan ketersediaan jumlah nikel untuk bahan baku mobil listrik.

"Ancaman yang kedua, banyak produsen baterai sekarang melakukan diversifikasi menggunakan bahan baku di luar dari nikel," sambung Bhima.

Bhima mencontohkan langkah Cina yang menggunakan sodium sebagai alternatif bahan baku baterai yang lebih ramah lingkungan. Bhima mengatakan proses refinasi atau pemurnian nikel di Indonesia ini masih dianggap menyumbang emisi karbon yang cukup tinggi.

"Masih banyak menggunakan PLTU batu bara, bahkan ada 14 GW rencana PLTU batu bara di kawasan industri yang sedang dibangun. Ini merusak citra nikel kalau mau digunakan untuk kendaraan listrik," ucap dia.

Bhima menilai, pemerintah ke depan perlu berhati-hati dalam melakukan hilirisasi nikel. Bhima mengingatkan keterbatasan cadangan nikel, perubahan teknologi, dan pasar dapat menjadi ancaman bagi potensi hilirisasi nikel Indonesia. 

"Bahan baku yang digunakan untuk baterai kendaraan listrik semakin terbatas, teknologi berubah, pasar berubah, hilirisasi kita bisa tamat dalam waktu yang sangat pendek, jadi harus hati-hati juga," lanjut Bhima. 

Bhima juga meminta pemerintah tidak terlalu mudah memberikan izin smelter baru. Menurut Bhima, pemerintah harus  mendorong perusahaan-perusahaan smelter menggunakan pembangkit yang lebih ramah lingkungan dan memperhatikan dampak lingkungan, mulai dari hulu pertambangan sampai dengan proses smelternya.

Bhima menyampaikan investasi yang masuk seharusnya investasi yang berkorelasi membangun pabrik baterai listrik dan daur ulang baterai di dalam negeri, bukan sekedar melakukan ekspor feronikel yang digunakan untuk stainless steel

"Karena kan maunya bukan untuk stainless steel, maunya hilirisasi kan untuk baterai kendaraan listrik, jadi harus fokus kepada tujuan awal," kata Bhima.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement