Rabu 15 Feb 2023 22:15 WIB

Peneliti: Impor Bahan Baku Bantu Industri Mamin Tetap Tumbuh

Impor masih dianggap sebagai kebijakan yang tidak nasionalis dan tidak populer.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Lida Puspaningtyas
Petugas Dinas Perikanan dan Kelautan Aceh melihat hasil Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) produk makanan abon ikan yang proses produksi secara bersih dan halal di Banda Aceh, Aceh, Kamis (14/10/2021). Pemerintah telah menargetkan tiga sektor prioritas sebagai fokus industri halal yakni makanan dan minuman, fashion serta farmasi dan kosmetik sebagai upaya membangkitkan kembali sektor perindustrian dan UMKM yang terpuruk akibat pandemi COVID-19.
Foto: ANTARA / Irwansyah Putra
Petugas Dinas Perikanan dan Kelautan Aceh melihat hasil Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) produk makanan abon ikan yang proses produksi secara bersih dan halal di Banda Aceh, Aceh, Kamis (14/10/2021). Pemerintah telah menargetkan tiga sektor prioritas sebagai fokus industri halal yakni makanan dan minuman, fashion serta farmasi dan kosmetik sebagai upaya membangkitkan kembali sektor perindustrian dan UMKM yang terpuruk akibat pandemi COVID-19.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Industri makanan dan minuman dinilai dapat didorong lebih jauh pertumbuhannya bila diberi kemudahan untuk impor bahan baku. Sektor ini menyumbang surplus perdagangan dan salah satu penyerap pekerja terbesar di Indonesia

“Bahan baku industri makanan dan minuman bergantung pada pasokan barang setengah jadi dari produksi dalam negeri dan impor, seperti gula, kedelai, gandum, bawang putih, minyak sayur dan tepung,” jelas Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hasran dalam webinar yang digelar pada Rabu (15/2/2023).

Baca Juga

Sayangnya impor masih dianggap sebagai kebijakan yang tidak nasionalis dan tidak populer. Kementerian Perindustrian (Kemenperin), misalnya, mengurangi ketergantungan impor barang setengah jadi untuk industri makanan minuman agar dapat memperkuat industri hulu.

Padahal impor bukan semata untuk dikonsumsi, tetapi juga menjadi input untuk menambah nilai tambah dari produk yang dihasilkan industri makanan minuman.

 

Penelitian CIPS terbaru yang berjudul Pentingnya Perdagangan Bagi UKM Sektor Makanan Minuman di Indonesia menunjukkan, impor bahan baku oleh perusahaan makanan dan minuman berskala kecil dan mikro, menghasilkan peningkatan output, nilai tambah, upah, serta margin intensif.

Kebijakan pelarangan impor oleh pemerintah yang disebut untuk mendukung perusahaan Indonesia berpotensi merugikan industri yang ketersediaan bahan bakunya perlu dipastikan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan, industri ini berkontribusi terbesar terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional dan mengalami pertumbuhan tertinggi di antara industri non-migas, dengan rata-rata sebesar 7,78 persen. Industri ini juga satu-satunya industri non-migas yang mengalami surplus perdagangan.

Industri ini juga pemberi kerja terbesar di luar sektor migas tahun 2019, menyerap 17,8 persen dari angkatan kerja di industri non-migas pada tingkat perusahaan besar dan menengah serta 36 persen pada tingkat Usaha Kecil dan Menengah (UMK).

Sekitar 36 persen pekerja di perusahaan makanan minuman besar dan menengah adalah perempuan. Sementara di UKM, angkanya mencapai 56 persen di industri makanan dan 58 persen di industri minuman.

“Untuk itu, memastikan ketersediaan bahan baku menjadi sangat penting. Dalam jangka panjang, kontribusi ini bisa terus meningkat seiring tumbuhnya industri ini di dalam negeri,” tambahnya.

CIPS merekomendasikan agar pemerintah meninjau kebijakan substitusi dan pengurangan impor dalam produksi pangan dalam kaitannya dengan pertumbuhan industri makanan dan minuman serta memisahkan data industri sawit dari industri mamin pada umumnya.

Hasran mengatakan industri makanan minuman di Indonesia didominasi oleh minyak sawit dan turunannya. Sementara pemerintah, dalam melaporkan pertumbuhan industri ini, tidak memisahkan aktivitas sawit dengan non-sawit.

"Ini berarti data pertumbuhan industri lebih mencerminkan pasar komoditas minyak sawit daripada sektor manufaktur industri makanan minuman secara keseluruhan,” tegas Hasran.

Pemerintah juga harus meningkatkan kualitas data dan aksesibilitasnya bagi publik. Evaluasi secara real time terhadap kebijakan Neraca Komoditas dan kebijakan hilirisasi dalam negeri juga diperlukan.

Terakhir, dalam menjaga kesejahteraan petani dalam negeri, pemerintah bisa menggunakan instrumen lain selain pembatasan impor seperti misalnya pemberian bantuan langsung tunai, pelatihan teknologi pertanian, dan peningkatan kemampuan petani.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement