REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI) menilai keputusan Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan dinilai tepat dengan tujuan untuk mengendalikan inflasi. Keputusan tersebut sesuai dengan proyeksi dari BRI.
Corporate Secretary PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) Aestika Oryza Gunarto pun mengatakan, BRI akan lebih selektif dalam menyalurkan kredit seiring dengan tren suku bunga tinggi ini. Hal tersebut juga mengantisipasi meningkatnya kredit macet.
"Untuk mengantisipasi potensi peningkatan kredit macet, BRI selective growth dalam menyalurkan pinjaman," kata Aestika kepada Republika, Jumat (20/1/2023).
Untuk 2023, Aestika menyampaikan, penyaluran kredit BRI akan terus difokuskan pada segmen UMKM dengan menyasar sektor-sektor yang resilien terhadap gejolak ekonomi global. Selain itu saat ini BRI telah memiliki sumber pertumbuhan baru melalui holding ultra mikro.
BRI optimistis untuk tahun ini pertumbuhan kredit dapat mencapai 9-11 persen year on year (yoy). Hal ini berkaca pada riset internal BRI yang menemukan bahwa perubahan suku bunga tidak akan berpengaruh besar terhadap pertumbuhan kredit.
Pasalnya, suku bunga kredit bukan satu-satunya variabel untuk meningkatkan pertumbuhan kredit nasional. Berdasarkan perhitungan model ekonometrika, variabel paling sensitif atau elastisitasnya paling tinggi terhadap pertumbuhan kredit adalah konsumsi rumah tangga dan daya beli masyarakat.
Terkait kenaikan suku bunga acuan BI, menurut Aestika, BRI terus melakukan review suku bunga secara berkala dan terus membuka ruang untuk melakukan penyesuaian suku bunga. Namun secara teknis, dia menjelaskan, penyesuaian suku bunga kredit tidak bisa dilakukan serta merta begitu suku bunga acuan berubah.
"Hal tersebut dikarenakan berbagai faktor, di antaranya faktor likuiditas serta struktur simpanan dan pinjaman yang berbeda beda antar masing-masing bank," terangnya.
Adapun saat ini likuiditas BRI berada dalam kondisi yang memadai. Hal tersebut tercermin dari LDR BRI sebesar 82,21 persen.