REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kementerian Pertanian (Kementan) menyatakan bakal memulai pengembangan sorgum secara fokus mulai tahun depan. Sorgum direncanakan pemerintah agar bisa menjadi produk alternatif untuk substitusi gandum impor.
"Tahun ini Kementan mengembangkan 15 ribu hektare (ha), tahun 2023 kami akan tambah 40 ribu ha menjadi 55 ribu ha," kata Direktur Serealia, Kementan, Ismail Wahab, dalam webinar Pataka, Selasa (9/8/2022).
Ia mengatakan, komoditas sorgum meruapkan satu famili tanaman dengan gandum. Hanya saja, sorgum memiliki kelemahan karena produk olahan tidak dapat mengembang seperti gandum. Hal itu menjadi tantangan tersendiri bagi industri makanan di Indonesia.
Menurutnya, komoditas lokal Indonesia memang tidak dapat 100 persen menggantikan gandum. Hanya saja, potensi sorgum sebagai alternatif sangat besar.
Upaya itu tentunya membutuhkan peran serta industri makanan yang lebih mengerti hal teknis dalam pengolahan. Menurut Ismail, saat ini menjadi momentum yang tepat bagi sorgum di tengah ketergantungan gandum yang semakin meningkat dan tingginya harga global.
"Bagaimana kita mau mengakses gandum jika semua negara tidak mau ekspor, karena itu kita coba dengan beberapa komoditas kita. Jangan sampai kita tidak bisa akan mi atau roti," katanya.
Kepala Biro Kepala Biro Perencanaan Kerja Sama dan Humas, Badan Pangan Nasional (NFA), Risfaheri, menuturkan, pangan lokal berpotensi untuk mensubstitusi 10 hingga 30 persen kebutuhan gandum untuk terigu. Khusus untuk produk olahan makanan yang tidak butuh sifat mengembang, sorgum bisa mensubsitusi hingga 100 persen.
NFA mendorong Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) agar bisa menciptakan sifat dari pangan lokal yang dapat mendekati gandum. "Apa perlu komponen enzim dan sebagainya, jadi bahan pangan lokal yang tidak punya sifat mengembang bisa mensubsitusi terigu gandum sampai 100 persen, ini tantangan ke depan," kata dia.
Diketahui, total impor gandum pada tahun 2021 tembus hingga 11,7 juta ton. Impor mengalami kenaikan dari 2020 yang masih 10,5 juta ton. Guru Besar Fakultas Pertanian, IPB University, Dwi Andreas Santosa, mengatakan, kecenderungan konsumsi gandum yang semakin tinggi cukup mengkhawatirkan.
Ia mencatat, pada tahun 1970 lalu, proporsi pangan berbasis gandum hampir 0 persen. Proporsi melonjak hingga 18,3 persen di tahun 2010 dan menjadi 26,6 persen pada tahun 2020."Bila kecenderungan ini terus terjadi, maka saat 100 tahun RI merdeka, saya khawatir 50 persen kebutuhan pokok tergandukan gandum, bukan sorgum, jagung, tapi gandum," kata dia.