REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pertumbuhan ekonomi kuartal II 2022 sebesar 5,44 persen. Hal ini ditopang oleh konsumsi rumah tangga, investasi, dan net ekspor.
Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede mengatakan secara keseluruhan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada semester I 2022 sebesar 5,23 persen dan full year 2022 diperkirakan berkisar 4,9 persen sampai 5,1 persen.
“Meskipun Indonesia sebagian besar ekonominya masih mengandalkan konsumsi domestik, tentu perekonomian global juga dapat berdampak pada perekonomian Indonesia,” ujarnya, Jumat (5/8/2022).
Menurutnya, terdapat beberapa transmisi dampak dari geopolitik global terhadap perekonomian domestik. Pertama, dari pasar keuangan, gejolak geopolitik global dapat memengaruhi kinerja pasar keuangan Indonesia.
“Sentimen risk-off terhadap pasar emerging market dapat mengakibatkan aliran modal keluar dari Indonesia yang mendorong nilai tukar melemah, suku bunga pasar meningkat, dan kinerja pasar modal menurun,” ucapnya.
Kedua, dari pasar komoditas, fluktuasi harga komoditas global dapat berdampak pada perekonomian domestik. Ketika harga komoditas naik signifikan, maka cenderung akan berdampak positif terhadap ekonomi, meskipun dengan catatan kenaikan inflasi juga membayangi.
“Terakhir, dari sisi perdagangan, dampak kondisi geopolitik global juga dapat berdampak terhadap kinerja perdagangan, terutama dampak dari trade diversion dari negara-negara yang berkonflik,” ucapnya.
Adapun beberapa konflik geopolitik global saat ini, seperti perang Rusia-Ukraina, dan yang baru-baru ini terjadi antara Amerika Serikat dan China akibat kunjungan Ketua DPR Amerika Serikat ke Taiwan, berpotensi memengaruhi kinerja sisi eksternal Indonesia.
“Dampak perang Rusia-Ukraina sudah kita rasakan yakni naiknya harga komoditas energi dan pangan dunia, mengingat kedua negara tersebut merupakan penghasil utama energi dan pangan dunia,” ucapnya.
Menurutnya konflik China dan Amerika Serikat di Taiwan, jika ini bereskalasi lebih jauh lagi, maka ini akan semakin menambah efek negatif ke perekonomian. Hal ini mengingat AS dan China merupakan partner dagang utama Indonesia, serta Taiwan merupakan salah satu produsen semikonduktor utama dunia.
“Memang, bisa saja terdapat potensi trade diversion yang menguntungkan Indonesia akibat meningkatnya restriksi perdagangan antara China dan Amerika Serikat, namun ini masih dikaji lebih jauh. Apalagi jika terjadi perang terbuka antara China dan Taiwan. Hal ini justru kami perkirakan memiliki dampak lebih buruk, di tengah kelangkaan semikonduktor yang terjadi saat ini,” ucapnya.
Ke depan, dia menilai pemerintah harus melakukan upaya ekstra dalam mengurangi ketergantungan bahan baku impor dari luar negeri. “Selain itu, untuk mengantisipasi perlambatan dari sisi eksternal, pemerintah juga perlu mengupayakan kebijakan kontra siklus melalui APBN,” ucapnya.