Sabtu 09 Oct 2021 10:51 WIB

Kemenkeu: Tarif Pajak untuk Melindungi Masyarakat Bawah

Perubahan lapisan tarif sesuai prinsip ability to pay.

Rep: Novita Intan/ Red: Friska Yolandha
Suasana Rapat Paripurna DPR RI Ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2021-2022 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/10/2021). Rapat paripurna tersebut beragendakan pendapat fraksi-fraksi terhadap RUU usul inisiatif Komisi II DPR dan pengesahan menjadi RUU usul DPR, persetujuan pembahasan waktu pembahasan RUU Penanggulangan Bencana dan RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, serta pengesahan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Foto: ANTARAAprillio Akbar
Suasana Rapat Paripurna DPR RI Ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2021-2022 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/10/2021). Rapat paripurna tersebut beragendakan pendapat fraksi-fraksi terhadap RUU usul inisiatif Komisi II DPR dan pengesahan menjadi RUU usul DPR, persetujuan pembahasan waktu pembahasan RUU Penanggulangan Bencana dan RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, serta pengesahan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menilai  undang-undang harmonisasi peraturan perpajakan (UU HPP) bertujuan untuk melindungi masyarakat menengah ke bawah. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor mengatakan perubahan lapisan tarif penghasilan orang pribadi yang kena pajak sesuai dengan prinsip ability to pay alias gotong royong yakni yang berkemampuan tinggi dituntut bayar lebih besar.

“Perubahan lapisan PPh Orang Pribadi jelas-jelas justru melindungi masyarakat menengah ke bawah,” ujarnya dalam keterangan resmi seperti dikutip Sabtu (9/10).

Sebelum adanya UU HPP, tarif pajak penghasilan (PPh) orang pribadi diatur menjadi empat lapis yakni penghasilan sampai Rp 50 juta per tahun dikenakan tarif lima persen dan di atas Rp 50 juta sampai Rp 250 juta per tahun dikenakan tarif 15 persen. Kemudian penghasilan di atas Rp 250 juta sampai Rp 500 juta per tahun dikenakan tarif 25 persen dan penghasilan di atas Rp 500 juta per tahun dikenakan tarif sebesar 30 persen.

Melalui UU HPP, lapisan ini diperlebar yakni penghasilan Rp 1 sampai Rp 60 juta per tahun dikenakan tarif lima persen, di atas Rp 60 juta sampai Rp 250 juta per tahun dikenakan tarif 15 persen, dan di atas Rp 250 juta sampai Rp 500 juta dikenakan tarif 25 persen. Selanjutnya, penghasilan di atas Rp 500 juta sampai Rp 5 miliar per tahun dikenakan tarif sebesar 30 persen dan penghasilan di atas Rp 5 miliar per tahun dikenakan tarif sebesar 35 persen.

“Lapisan terbawah yang sebelumnya hanya mencapai Rp 50 juta sekarang dinaikkan menjadi Rp 60 juta dengan tarif tetap lima persen,” ucapnya.

Sebagai contoh, seseorang memiliki penghasilan kena pajak sebesar Rp 60 juta dalam setahun dan berdasarkan UU PPh yang saat ini berlaku maka penghasilan orang tersebut dikenai dua lapisan tarif sebesar lima persen dan 15 persen.

Adapun beban pajak yang ditanggung per tahun oleh orang tersebut sebesar Rp 4 juta dengan perhitungan lima persen dikali Rp 50 juta sama dengan Rp 2,5 juta dan 15 persen dikali Rp 10 juta sama dengan Rp 1,5 juta.

Adanya UU HPP ini, orang tersebut diuntungkan karena hanya akan masuk ke lapisan satu dengan tarif lima persen yang artinya beban pajak yang ditanggung sebesar Rp 3 juta dengan perhitungan lima persen dikali Rp 60 juta sama dengan Rp 3 juta.

“Keberpihakan kebijakan ini juga nyata-nyata terlihat dari pelebaran bracket menjadi lima lapisan,” katanya.

Adapun tarif tertinggi bagi orang pribadi dengan UU sebelumnya sebesar 30 persen sedangkan melalui UU HPP maka tarif tertinggi ditetapkan sebesar 35 persen terhadap penghasilan kena pajak di atas Rp 5 miliar per tahun.

“Jadi yang berpenghasilan kecil dilindungi, yang berpenghasilan tinggi dituntut kontribusi yang lebih tinggi,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement