REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengakui celah pajak (tax gap) melebar akibat insentif bagi usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal, menjelaskan fasilitas tersebut memang sengaja diberikan agar pelaku usaha kecil dapat berkembang.
“Setelah omzet lebih dari Rp500 juta tapi masih di bawah Rp4,8 miliar, tarif pajaknya hanya 0,5 persen. Jadi kalau ditanya kenapa tax gap besar di area ini, memang karena fasilitas itu,” kata Yon dalam Seminar Nasional Seri 5 bertema Meningkatkan Rasio Perpajakan di Tengah Tekanan Ekonomi: Strategi & Solusi, Selasa (26/8/2025).
Ia menambahkan, omzet UMKM di bawah Rp500 juta per tahun sepenuhnya bebas pajak. Kontribusi UMKM terhadap perekonomian nasional mencapai 60 persen PDB, di mana sekitar 40 persen di antaranya berasal dari usaha mikro yang tidak dipungut pajak.
“Bukan karena tidak ada pengawasan, tetapi memang sebagai fasilitas yang diberikan pemerintah kepada UMKM,” ujarnya.
Yon menyebut lebih dari 40 persen belanja perpajakan (tax expenditure) dinikmati UMKM dan masyarakat kecil. Kebijakan serupa juga berlaku pada sektor kesehatan dan pendidikan yang dikecualikan dari PPN sebagai bentuk investasi sumber daya manusia (SDM).
Ekonom INDEF, Aviliani, menilai fasilitas ini rawan disalahgunakan. “Ini perlu ditinjau kembali karena berisiko dimanfaatkan dengan memecah perusahaan agar tetap masuk kategori UMKM,” katanya.
Ia juga menekankan penerapan sistem Coretax sebaiknya tidak terburu-buru agar tidak mengganggu sektor usaha. Aviliani menambahkan basis pajak Indonesia masih sempit sehingga rasio pajak rendah.
“Pemerintah masih terbiasa berburu di kebun binatang, bukan di hutan,” ujarnya.
OECD mencatat rasio pajak Indonesia berada di peringkat 32 dari 37 negara, di bawah rata-rata Asia Pasifik dan Afrika.
Sementara itu, Founder DDTC, Darussalam menyoroti pentingnya komunikasi kebijakan. Menurutnya, resistensi publik bisa muncul jika narasi pencabutan fasilitas tidak disampaikan dengan benar.
“Kalau narasinya tidak tepat, saat fasilitas dicabut akan muncul resistensi. Jadi seolah-olah ada pajak baru, padahal hanya koreksi kebijakan lama,” ujarnya.
Ia juga menilai ada empat masalah fundamental perpajakan Indonesia, yakni partisipasi publik rendah, edukasi belum inklusif, narasi kebijakan minim, dan pengelolaan data yang masih lemah. Ia mengingatkan struktur penerimaan pajak nasional masih timpang karena terlalu bergantung pada PPh badan, sementara kontribusi PPh orang pribadi jauh lebih kecil dibanding negara OECD.