REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat kerugian perbankan akibat kecurangan atau fraud di tengah digitalisasi sebesar Rp 4,62 triliun. Hal ini disebabkan masifnya ancaman dan modus perkembangan transaksi elektronik termasuk e-commerce
Deputi Komisioner Pengawas Perbankan III OJK Slamet Edy Purnomo mengatakan, realisasi tersebut merupakan hasil akumulasi pada kuartal I 2020 sebesar Rp 1,8 triliun dan kuartal II 2020 sebesar Rp 2,82 triliun.
"Penyebab fraud ini berasal dari lingkungan internal dan eksternal perbankan," ujar Edy saat webinar seperti dikutip Jumat (24/9).
Dia merinci, jumlah penyebab fraud di lingkungan internal sebanyak 1.005 kejadian pada kuartal I 2020 dan turun menjadi 796 kejadian pada kuartal II 2020. Sedangkan penyebab fraud dari lingkungan eksternal perbankan meningkat menjadi 8.218 kejadian pada kuartal II 2020 dibanding kuartal I 2020 sebanyak 6.444 kejadian.
Edy menyebut hal ini harus diwaspadai karena berpotensi memberikan celah kepada oknum dan menimbulkan kejahatan fraud perbankan.
Dari sisi lain, pada Desember 2020 transaksi tunai melalui ATM atau debit sebesar Rp 552 juta. Adapun angka tersebut turun pada Juli 2021 menjadi Rp 518 juta. Sedangkan volume tarik tunai pada Desember 2020 sebesar Rp 726 juta atau turun menjadi Rp 677 juta pada Juli 2021.
Menurutnya saat ini kredit perbankan telah mengalami pemulihan pada kuartal I 2021. Pada Juli 2021 kredit perbankan tumbuh 0,50 persen menjadi Rp 5.564 triliun dibanding periode sama pada tahun sebelumnya Rp 5.482 triliun.
"Growth cuma 0,50 persen tapi kami sudah menciptakan satu optimisme untuk meningkatkan pertumbuhan kredit guna mendorong pertumbuhan ekonomi. Hal ini seiring meluasnya penggunaan produk baru dari perbankan," ucap Edy.
Dari sisi lain, pada Juli 2021 tren kantor cabang mengalami penurunan menjadi sebanyak 29.713 unit dibanding periode sama pada tahun sebelumnya 30.733 unit.