REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai rencana penawaran saham perdana GoTo dapat menjadi momentum perusahaan agar berbagi kepemilikan kepada publik. Adapun rencana berbagi kepemilikan juga merupakan kesempatan terbuka bagi semua pihak untuk menjadi bagian dari kolaborasi dua perusahaan platform digital karya anak bangsa, yaitu Gojek dan Tokopedia.
"Kami berharap jutaan masyarakat Indonesia bisa berpartisipasi memiliki Gojek dan Tokopedia, sehingga setelah IPO bisa transparan, kinerja semakin baik, dan menjadi kebanggaan masyarakat Indonesia," ujar Kepala OJK Institute Agus Sugiarto dalam keterangan resmi seperti dikutip Sabtu (5/6).
Sementara Ekonom Digital LPEM FEB Universitas Indonesia Chaikal Nuryakin menambahkan GoTo bisa menyusul beberapa perusahaan digital besar global yang telah melakukan IPO, meski terdapat contoh sukses serta contoh sebaliknya.
"Contoh yang berhasil itu Facebook, Alibaba, dan SEA Group. Sedangkan contoh sebaliknya adalah Lyft, Uber, dan WeWork," katanya.
Berdasarkan riset yang dilakukan, Chaikal mengungkapkan alasan keberhasilan perusahaan digital saat penawaran saham perdana yaitu manajemen yang baik, mudah beradaptasi, dan bisa sesuai dengan ekspektasi publik, serta dukungan utama dari modal ventura atau investor sebagai bantalan bagi perusahaan.
"Sedangkan, alasan yang gagal adalah miskomunikasi kondisi riil perusahaan kepada investor, perusahaan tertutup terlalu lama, kinerja perusahaan tidak sesuai ekspektasi investor, tata kelola perusahaan tidak siap terhadap pengawasan publik, dan kurangnya persiapan untuk melakukan IPO," ungkapnya.
Dia mengharapkan GoTo bisa belajar dari kasus-kasus tersebut karena penawaran publik itu bisa memberikan keuntungan seperti sumber pendanaan yang tidak terbatas untuk mendukung ekspansi bisnis, meningkatkan citra perusahaan, penerapan tata kelola yang baik, insentif pajak, dan spillover (pengalihan) investasi dari investor dalam dan luar negeri.
"Sementara tantangan penawaran saham perdana atau IPO termasuk bagi GoTo untuk menjaga performa perusahaan pasca IPO, mempertahankan kontrol dari pendiri perusahaan pada model klasifikasi saham saat ini, aturan yang lebih ketat misalnya audit keuangan, dan volatilitas makroekonomi," kata Chaikal.