REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah meyakini reformasi struktural akan membawa dampak positif terhadap transformasi ekonomi. Nantinya pertumbuhan ekonomi dapat tumbuh enam persen pada 2023.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan rancangan kerja pemerintah (RKP) pada 2022 tetap fokus terhadap pemulihan ekonomi dan reformasi struktural, sehingga diharapkan pada periode itu bisa menjadi kunci dalam pemulihan ekonomi nasional. Pada postur anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2022 pendapatan negara akan sebesar 10,18 persen sampai 10,44 persen dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia serta belanja negara akan berada kisaran 14,69 persen sampai 15,29 persen dari PDB.
"Sehingga dalam hal ini defisit masih ada kisaran 4,5 hingga 4,85 persen dari GDP kita," ujarnya saat Rapat Koordinasi Pembangunan Pusat 2021, secara virtual, Kamis (29/4).
Pada 2022 belanja pemerintah pusat diperkirakan berada kisaran 10,36 sampai 10,63 persen terhadap PDB. Kemudian transfer ke daerah bisa berada kisaran 4,33 sampai 4,66 persen dari PDB.
"Dari sisi belanja negara maka reform adalah melakukan standing banner terutama untuk membelanjai berbagai program prioritas dengan orientasi kepada result atau hasil," ucapnya.
Selanjutnya penerimaan pajak ditargetkan 8,37 hingga 8,47. Hal ini meningkat dari tahun ini yang diperkirakan sekitar 8,18 persen. Lalu penerimaan negara bukan pajak (PNBP) juga akan mengalami kenaikan 1,83 persen dari yang tahun ini diperkirakan 1,69 persen.
"Dengan postur ini kita akan terus mendetailkan dari sisi pendapatan negara. Reform bidang perpajakan maupun PNBP yaitu menggali dan meningkatkan basis pajak kita, memperkuat sistem perpajakan dengan membangun konteks dan juga terus melakukan sinergi antara pendapatan pajak dan bukan pajak," ucapnya.
Kemudian PNBP pemerintah akan terus optimalkan aset negara untuk menghasilkan dividen maupun pendapatan serta untuk meningkatkan pelayanan kepada publik.
Dari sisi lain, Sri Mulyani menyebut reformasi struktural melalui Undang-Undang Cipta Kerja akan membantu memperbaiki iklim investasi. Pemerintah juga mengembangkan sektor dengan nilai tambah tinggi, pembangunan infrastruktur, dan pengembangan green energy.
"Transformasi struktural ini bisa mendukung atau menyumbangkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi terutama pada faktor investasi dan ekspor," ucapnya.
Tanpa reformasi struktural pertumbuhan investasi dan ekspor hanya sekitar 5,4 persen dan 5,2 persen saja. Padahal dukungan reformasi struktural, pertumbuhan investasi bisa sebesar tujuh persen persen sedangkan ekspor bisa di atas enam persen.
“Pada 2023-2024 dan seterusnya, adanya reformasi maka akselerasi dari pertumbuhan investasi diharapkan akan mencapai titik atas tujuh persen. Demikian juga ekspor dan ini akan bisa mendukung pertumbuhan ekonomi kita di atas enam persen," ungkapnya.
Sri Mulyani menyebut meningkatnya pertumbuhan investasi dan ekspor maka kerja anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) juga bisa dikurangi. Maka demikian, reformasi fiskal APBN yang berkesinambungan dapat dilakukan oleh pemerintah.
"Tanpa harus membebani APBN dan bahkan akan bisa membuat APBN kita menjadi kembali sehat karena perekonomian yang tumbuh menjadi juga basis penerimaan pajak yang makin kuat," ucapnya.