REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Untuk bisa mendorong masifnya kendaraan listrik di Indonesia memang perlu insentif. Namun, pemerintah mengaku belum bisa menerapkan kebijakan dan insentif yang jor joran untuk proyek kendaraan listrik ini.
Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves Septian Hario Seto menjelaskan pemerintah tetap optimis kendaraan listrik akan menjadi solusi jangka panjang dalam mengurangi emisi. Namun, melihat struktur Indonesia yang luas dan negara kepulauan, masifnya kendaraan listrik akan terjadi secara gradual meski pemerintah memberikan insentif.
"Insentif itu pasti ada. Salah satunya pembebasan PPBM untuk mobil listrik akan dikeluarkan pemerintah pada Oktober atau November mendatang. Tapi kami rasa untuk menerapkan kebijakan seperti pajak karbon tidak untuk saat ini," ujar Seto, Jumat (5/2).
Disatu sisi, Seto melihat pertumbuhan kendaraan listrik akan masif di kota kota besar saja. Sedangkan di daerah kepulauan lain masih akan menggunakan mobil konvensional. Hal ini sekaligus menjawab tantangan produsen otomotif asal Jepang.
"Jadi kalau saya lihat, kekhawatiran yang mungkin dikhawatirkan produsen otomotif jepang bahwa ini akan merebut pangsa pasarnya secara signifikan, enggak sih. Meski kami tebar insentif tetap naiknya akan secara gradual," ujar Seto.
Seto juga mencontohkan kebijakan pajak karbon yang diterapkan Eropa membuat pertumbuhan kendaraan listrik disana mengalami signifikan. Eropa menerapkan denda kepada pemilik kendaraan yang tingkat emisinya lebih dari 195 gram per kilometer. Hal ini membuat para pemilik kendaraan akan membayar denda emisi lebih besar sehingga eropa menilai penggunaan mobil listrik lebih hemat bagi mereka.
Karena kebijakan tersebut pertumbuhan kendaraan listrik di Eropa bahkan mencapai 137 persen. Namun, kebijakan serupa belum bisa diterpkan di Indonesia.
"Tapi untuk itu saya belum melihat dari sisi kita ada rencana akan menerapkan pajak seagresif itu tidak. so far yang akan diberikan adalah insentif dari sisi fiskal," ujar Seto.