REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Staf Khusus Menteri Keuangan Candra Fajri Ananda mencatat, realisasi penyaluran kredit dari penempatan dana pemerintah melalui Bank Pembangunan Daerah (BPD) baru mencapai Rp 2,7 triliun. Angka ini masih jauh di bawah target pemerintah, yaitu dua kali lipat dari dana yang ditempatkan pada Juli, yakni Rp 22,4 triliun.
Candra menjelaskan, rendahnya penyaluran ini dikarenakan tingkat permintaan kredit modal kerja yang rendah dari Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Ini juga sebagai imbas dari rendahnya daya beli dan permintaan dari konsumen terhadap produk-produk mereka.
"Mereka (UMKM) dihadapkan dalam situasi, pada saat ada dana itu, mau dipakai untuk apa kita produksi," katanya, dalam Webinar Peran Penjaminan Syariah dalam Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional, Kamis (17/9).
Program lain yang lebih banyak diharapkan berdampak adalah subsidi bunga UMKM. Tapi, Candra mengatakan, realisasinya juga terhambat karena banyak perusahaan melakukan efisiensi terhadap produksi mereka.
Pada Juli, pemerintah pusat menempatkan dana sebesar Rp 11,5 triliun untuk beberapa BPD dalam rangka akselerasi pemulihan ekonomi nasional. Program ini melengkapi penempatan dana di empat bank Himpunan Bank Negara (Himbara) yang sudah dilaksanakan akhir bulan Juni.
Berbeda dengan penyaluran BPD yang terhambat, realisasi dari penempatan dana di Himbara mengalami akselerasi. Per Jumat (4/9), realisasi penyalurannya sudah mencapai Rp 109,2 triliun. Angka ini melampaui target pemerintah yang meminta Himbara menyalurkan tiga kali lipat dari dana Rp 30 triliun yang ditempatkan.
Penjaminan kredit UMKM yang dilakukan pemerintah melalui PT Jamkrindo dan PT Askrindo juga sudah mencatatkan realisasi yang cukup. Sampai dengan Rabu (2/9), Candra mengatakan, penyaluran kredit yang mendapatkan penjaminan adalah sebesar Rp 3,06 triliun untuk lebih dari 5 ribu debitur.
Secara umum, realisasi program PEN untuk dukungan kepada UMKM per Rabu (9/9) sudah mencapai Rp 58,68 triliun atau 47,53 persen dari pagu anggaran Rp 123,46 triliun. Beberapa upaya percepatan telah dilakukan, termasuk perpanjangan beberapa program sampai dengan Desember 2020.
Selain itu, Candra menambahkan, pemerintah akan mempercepat proses usulan baru berbagai kluster dan birokrasi program. Redesign program agar lebih efektif turut dilakukan untuk meningkatkan realisasi. "Memang sambil berjalan, terus dievaluasi. Termasuk penyertaan modal di beberapa bank daerah yang mengalami hambatan," katanya.
Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, bantuan modal usaha menjadi yang paling banyak dibutuhkan pelaku usaha mikro dan kecil (UMK). Data ini didapatkan dari survei Badan Pusat Statistik (BPS) terhadap 34 ribu lebih pengusaha UMK serta Usaha Menengah dan Besar (UMB) yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Survei dilakukan pada 10 hingga 26 Juli.
Sebanyak 69,02 persen dari responden survei BPS menyatakan, membutuhkan bantuan modal usaha. "Kedua, yang paling diharapkan adalah keringanan tagihan listrik untuk usaha," kata Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi pers yang diadakan secara virtual, Selasa (15/9).
Sementara itu, keringanan tagihan listrik menjadi bantuan yang paling dibutuhkan bagi UMB. Lebih dari 43 responden UMB membutuhkannya. Selain itu, sebanyak 40,32 persen pelaku UMB mengakui, membutuhkan relaksasi atau penundaan pembayaran pinjaman untuk bertahan di tengah pandemi Covid-19.
Suhariyanto mengatakan, pemerintah harus mengevaluasi bantuan yang dibutuhkan UMB dan UMK ini. "Sehingga, berbagai program yang ada di dalam Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) betul-betul tepat dan sesuai bantuan yang diharapkan," ujarnya.