REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2019. Semua hal yang bersifat material, posisi keuangan per tanggal 31 Desember 2019, dan realisasi anggaran, operasional, serta perubahan ekuitas untuk tahun yang berakhir pada tanggal tersebut sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan.
Tapi, Ketua BPK Agung Firman Sampurna menekankan, opini wajar tanpa pengecualian tidak berarti LKPP bebas dari masalah. BPK mengidentifikasi sejumlah masalah, baik dalam sistem pengendalian internal (SPI) maupun dalam kepatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan yang harus ditindaklanjuti.
Beberapa temuan yang dimaksud Agung adalah kelemahan dalam penatausahaan Piutang Perpajakan pada Direktorat Jenderal Pajak. "Selain itu, kewajiban pemerintah selaku Pemegang Saham Pengendali PT Asabri (Persero) dan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) belum diukur/diestimasi," tuturnya dalam Rapat Paripurna DPR, Selasa (14/7).
Temuan berikutnya, pengendalian atas pencatatan Aset Kontraktor Kontrak Kerjasama dan Aset yang berasal dari pengelolaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) belum memadai. Pengungkapan Kewajiban Jangka Panjang atas Program Pensiun pada LKPP Tahun 2019 sebesar Rp 2.876,76 triliun juga dinilai belum didukung Standar Akuntansi.
Di sisi lain, BPK juga memberikan beberapa catatan yang perlu menjadi perhatian DPR dan pemerintah terhadap LKPP Audited Tahun 2019. Misalnya saja, sejumlah capaian positif atas Asumsi Dasar Ekonomi Makro Tahun 2019 yang ditetapkan dalam APBN 2019. Salah satunya, inflasi sebesar 2,72 persen yang lebih rendah dari asumsi APBN sebesar 3,50 persen. Selain itu, nilai tukar sebesar Rp 14.146 per dolar AS, lebih rendah dari asumsi APBN sebesar Rp 15 ribu.
Tapi, masih ada beberapa indikator ekonomi makro yang memiliki capaian di bawah asumsi penyusunan APBN, yaitu pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai 5,02 persen. Dalam asumsi APBN, pemerintah menetapkan target sebesar 5,30 persen.
Lifting minyak juga tidak mencapai target. Realisasinya hanya 746 ribu barel per hari dari asumsi APBN sebanyak 775 ribu barel per hari. "Lifting gas hanya mencapai 1.057 ribu barel per hari dari asumsi APBN sebesar 1.250 ribu barel per hari," ujar Agung.
Catatan kedua yang disampaikan Agung adalah realisasi rasio defisit anggaran terhadap PDB. Pada tahun lalu, realisasinya sebesar 2,20 persen, lebih tinggi dibandingkan target awal yang telah ditetapkan dalam UU APBN Tahun 2019, yakni 1,84 persen.
BPK turut menyoroti posisi utang pemerintah terhadap PDB pada tahun 2019 yang sebesar 30,23 persen, atau meningkat jika dibandingkan dengan posisi akhir 2018 sebesar 29,81 persen persen.
Sementara itu, nilai pokok atas utang pemerintah pada tahun lalu mencapai Rp 4.786 triliun. Sebanyak 58 persennya atau sekitar Rp 2.783 triliun merupakan utang luar negeri, sedangkan sisanya berasal dari dalam negeri.