REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kinerja ekspor Indonesia pada bulan lalu sebesar 10,53 miliar dolar AS, turun 13,40 persen dibandingkan April 2020 dan 28,95 persen dibandingkan Mei 2019. Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), nilai tersebut terendah sejak hampir lima tahun terakhir.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, apabila dilihat lagi, kinerja ekspor pernah mencapai titik terendah pada Juli 2016 dengan nilai 9,6 miliar dolar AS. "Jadi, kalau dilacak ke belakang, ini terendah sejak Juli 2016," ujarnya dalam konferensi pers live streaming, Senin (15/6).
Tidak hanya ekspor, kinerja impor juga mengalami penurunan. Nilai impor Mei tercatat 8,44 miliar dolar AS, atau turun 32,65 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Kontraksi lebih dalam terjadi jika dibandingkan April 2019, yakni hingga 42,20 persen. Merujuk data BPS, posisi tersebut terendah sejak 2009.
Suhariyanto mengatakan, penurunan ekspor dan impor tentu tidak terlepas dari pandemi Covid-19 yang melanda berbagai belahan dunia. Banyak negara mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi karena pembatasan aktivitas ekonomi dan sosial. "Ada pelemahan daya beli, di sisi lain. Juga ada berbagai masalah lain yang berdampak pada neraca dagang Indonesia," tuturnya.
BPS mencatat, nilai ekspor pada Mei adalah 10,53 miliar dolar AS. Kontribusi terbesar masih diberikan dari sektor industri, 78,93 persen, dengan nilai 8,31 miliar dolar AS. Nilai ini kontraksi 14,92 persen dibandingkan April 2020, dan turun 25,90 persen dibandingkan Mei 2019.
Secara tahunan, ekspor seluruh sektor mengalami penurunan. Penurunan terdalam terjadi pada migas yang mengalami kontraksi hingga 42,64 persen menjadi 650 juta dolar AS pada Mei. Pertambangan dan lainnya juga tumbuh negatif sampai 38,11 persen, menjadi 1,33 miliar dolar AS.
Sementara itu, kinerja impor bulan yang sama mencapai 8,44 miliar dolar AS dengan struktur didominasi bahan baku/ penolong. Kontribusinya mencapai 72,42 persen dengan nilai impor 6,11 miliar dolar AS.
Sama seperti ekspor, impor seluruh kategori barang mengalami kontraksi pada Mei 2020 dibandingkan Mei 2019. Penurunan terdalam terjadi pada bahan baku/ penolong yang mencapai 43,03 persen. Sementara itu, barang modal mengalami pertumbuhan negatif 40 persen, menjadi 1,39 miliar dolar AS.
Suhariyanto menjelaskan, penurunan impor bahan baku dan barang modal perlu diwaspadai karena dapat berpengaruh signifikan terhadap pergerakan industri dalam negeri. Dampaknya juga bisa terasa ke perdagangan. "Sementara itu, impor barang modal dapat berpengaruh pada komponen investasi di dalam pertumbuhan ekonomi dari sisi pengeluaran," katanya.
Selain itu, barang konsumsi yang berkontribusi 11,07 persen terhadap struktur impor juga tak luput dari kontraksi. Penurunannya mencapai 39,83 persen menjadi 930 juta dolar AS.