Kamis 11 Jun 2020 16:26 WIB

Pembangunan tak Sinkron, Alih Fungsi Lahan Terus Berlangsung

Pemerintah perlu mempertegas zonasi jalur hijau untuk pertanian.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolandha
Seorang petani memikul benih padi yang akan di tanam pada lahan pertanian di wilayah Sawit, Boyolali, Jawa Tengah, Selasa (5/5/2020). Indonesia sebagai negara agraris terus menghadapi ancaman alih fungsi lahan.
Foto: ANTARA/Aloysius Jarot Nugroho
Seorang petani memikul benih padi yang akan di tanam pada lahan pertanian di wilayah Sawit, Boyolali, Jawa Tengah, Selasa (5/5/2020). Indonesia sebagai negara agraris terus menghadapi ancaman alih fungsi lahan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia sebagai negara agraris terus menghadapi ancaman alih fungsi lahan. Lahan pertanian setiap tahun terus menyusut dan berganti rupa menjadi properti, infrastruktur, atau peruntukan lainnya.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, menilai adanya pembangunan yang tidak sinkron antara perlindungan lahan pertanian dengan agenda pembangunan nasional. Bahkan, menurut dia, keduanya terlihat saling menegasikan.

Baca Juga

"Selama ini (pertanian dan pembangunan) saling menegasikan. Sepanjang pantai utara Jawa ketika terjadi pembangunan infrastruktur yang gencar, produksi pertanian berkurang. Padahal daerah Karawang itu jadi lumbung padi utama di Jawa, bahkan Indonesia," kata Bhima dalam pernyataannya, Kamis (11/6).  

Bhima mencatat, alih fungsi lahan pertanian cukup masif terjadi di Indonesia. Setiap tahunnya luas lahan baku sawah alami penyusutan hingga 120 ribu hektare. Menurutnya, situasi ini cukup gawat karena didorong oleh masifnya pembangunan infrastruktur, pabrik dan properti.

Sementara itu, ada korelasi antara alih lahan pertanian dengan kenaikan impor pangan. Tahun 2018 lalu misalnya, impor beras tembus 2,2 juta ton. Sedangkan, impor sayuran tembus 11,5 triliun di 2019. "Padahal di tengah pandemi, kemandirian pangan merupakan syarat kunci untuk bertahan," ujarnya.

Untuk mengatasi persoalan alih fungsi lahan, Bhima menilai, pemerintah harus berani bersikap tegas. Terutama terkait dengan perencanaan dan pengaturan zonasi wilayah yang bisa merugikan keberadaan laahn pertanian.  

"Zonasi yang tegas, kalau jalur hijau untuk pertanian ya tidak boleh dibuat pemukiman, proyek infrastruktur maupun pabrik. Itu harusnya ada harga mati, sanksi keras. "Ini sekaligus juga untuk cegah spekulan tanah bermain harga," katanya.

Selain penegakan aturan yang tegas, peran pemerintah daerah sangat strategis. Terutama, dalam mencegah terjadinya korupsi pemberian izin antara pemerintah dan pebisnis.

"Korupsi soal perizinan lahan harus dibabat habis. Jangan ada lagi kasus konversi lahan pertanian untuk jadi pabrik misalnya karena aparatur daerahnya bisa disuap," kata dia. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement