Senin 10 Feb 2020 19:22 WIB

Kemenkeu Tunggu Panggilan DPR Bahas Omnibus Law Perpajakan

Salah satu yang akan diatur dalam RUU Omnibus Law Perpajakan adalah pajak e-commerce

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Pajak/ilustrasi
Foto: Pajak.go.id
Pajak/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) siap menunggu panggilan dari pihak legislatif untuk membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Perpajakan. Beleid ini diketahui merupakan reformasi perpajakan yang menjadi prioritas pemerintah.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu Hestu Yoga Saksama menjelaskan, pihaknya sudah menyerahkan draft RUU Omnibus Law Perpajakan bersama dengan naskah akademik dan surat presiden (surpres) pada akhir Januari. "Kami sudah sampaikan ke DPR," ujarnya saat dihubungi Republika, Senin (10/2).

Baca Juga

Hestu mengatakan, substansi yang tertuang dalam RUU Omnibus Law Perpajakan masih sesuai dengan rencana pemerintah sejak awal. Di dalamnya, terdiri atas enam pilar yakni pendanaan investasi; sistem teritori perpajakan; subjek pajak orang pribadi; kepatuhan wajib pajak; keadaan iklim berusaha; dan fasilitas pajak.

Hestu menjelaskan, pemerintah kini tinggal menunggu waktu untuk membahas beleid tersebut bersama dengan DPR. Tapi, ia tidak dapat menyebutkan waktunya secara lebih detail mengingat ketentuan tersebut diatur oleh DPR. "Itu sepenuhnya ditentukan DPR," tuturnya.

Salah satu poin yang akan diatur dalam RUU Omnibus Law Perpajakan adalah pemajakan atas perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE). Poin ini diatur dalam rangka perlu adanya level playing field pemajakan atas transaksi perdagangan konvensional dan elektronik.

Dalam RUU Omnibus Law Perpajakan, Hestu menambahkan, pemerintah mengusulkan pengenaan pajak atas penghasilan terkait dengan transaksi elektronik yang dilakukan di Indonesia oleh subjek pajak luar negeri (SPLN) yang tidak memiliki physical presence di Indonesia.

Lebih detail, pemerintah akan menetapkan definisi Badan Usaha Tetap (BUT) tidak hanya berdasarkan physical presence, juga berdasarkan significant economic presence.

Dengan begitu, perusahaan digital seperti Google yang tidak memiliki kantor induk di Indonesia, namun mendapatkan keuntungan dari transaksi masyarakat Indonesia akan terkena dampak dari kebijakan ini. "Saat ini, kita belum mengatur ketentuan ini," ucap Hestu.

Selain membahas pajak digital, pemerintah juga mengatur penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) badan. Tujuannya, memberikan ruang pendanaan dari dalam negeri untuk menambah investasi dan meningkatkan investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI).

Penurunannya dilakukan secara bertahap dari semula 25 persen menjadi 22 persen di Tahun Pajak 2021 dan Tahun Pajak 2022 serta menjadi 20 persen mulai Tahun Pajak 2023.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement