Senin 14 Jul 2025 20:32 WIB

DJP Tunjuk Marketplace sebagai Pemungut Pajak PPh 22 dari Pedagang, Ini Alasannya

Aturan baru ini disiapkan untuk sederhanakan tata kelola pajak digital.

Warga menggunakan perangkat elektronik untuk berbelanja daring di salah satu situs belanja daring di Jakarta, Rabu (15/6/2022). Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan berencana menarik bea meterai Rp10 ribu untuk pelanggan platform digital termasuk belanja online di e-commerce, untuk transaksi pembelian di atas Rp5 juta rupiah.
Foto: ANTARA/Muhammad Adimaja
Warga menggunakan perangkat elektronik untuk berbelanja daring di salah satu situs belanja daring di Jakarta, Rabu (15/6/2022). Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan berencana menarik bea meterai Rp10 ribu untuk pelanggan platform digital termasuk belanja online di e-commerce, untuk transaksi pembelian di atas Rp5 juta rupiah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengungkapkan alasan menunjuk niaga elektronik (e-commerce) sebagai pemungut pajak penghasilan (PPh) 22 dari merchant atau pedagang. Kebijakan itu resmi diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 yang ditetapkan pada 11 Juli 2025 dan diundangkan pada 14 Juli 2025.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Rosmauli, di Jakarta, Senin (14/7/2025), mengatakan latar belakang diterbitkannya PMK ini adalah pesatnya perkembangan perdagangan melalui lokapasar (marketplace) di Indonesia, terutama setelah pandemi COVID-19 yang mendorong perubahan perilaku konsumen ke arah digital.

Baca Juga

Perkembangan itu diperkuat oleh tingginya jumlah penduduk Indonesia, meningkatnya penggunaan smartphone dan internet, serta kemajuan teknologi finansial yang makin memudahkan transaksi secara daring.

Kondisi itu disebut menciptakan ekosistem perdagangan berbasis digital yang terus tumbuh.

“Untuk itu, diperlukan pengaturan yang mendorong kemudahan administrasi perpajakan, khususnya bagi pelaku usaha yang bertransaksi melalui sistem elektronik,” kata Rosmauli.

Selain itu, pengaturan itu bertujuan menciptakan keadilan berusaha (level of playing field) antara pelaku usaha digital dan konvensional. DJP menyatakan praktik kebijakan perpajakan yang serupa telah diterapkan di beberapa negara, seperti Meksiko, India, Filipina, dan Turki.

Pokok pengaturan PMK 37/2025 mewajibkan pedagang menyampaikan informasi kepada pihak lokapasar sebagai dasar pemungutan.

PMK juga mengatur tarif pemungutan PPh Pasal 22 sebesar 0,5 persen yang dapat bersifat final maupun tidak final.

Beleid itu juga menetapkan invoice sebagai dokumen tertentu yang dipersamakan dengan bukti pemotongan dan/atau pemungutan PPh unifikasi.

PMK pun memuat ketentuan mengenai mekanisme pemungutan PPh Pasal 22 oleh lokapasar atas transaksi yang dilakukan oleh pedagang sesuai dengan dokumen invoice penjualan dan standar minimal data yang harus tercantum dalam invoice.

Selain itu, lokapasar memiliki kewajiban untuk menyampaikan informasi kepada DJP.

Rosmauli menambahkan pemberlakuan PMK 37/2025 membuat pemungutan pajak atas transaksi di lokapasar menjadi lebih sederhana dan berbasis sistem.

Dia menegaskan aturan itu bukan pajak baru, melainkan bentuk penyesuaian cara pemungutan pajak dari yang sebelumnya dilakukan secara manual, kini disesuaikan dengan sistem perdagangan digital.

“Harapannya, masyarakat terutama pelaku UMKM, bisa lebih mudah menjalankan kewajiban perpajakannya, diperlakukan setara, dan ikut mendukung pertumbuhan ekonomi digital yang sehat dan berkeadilan,” ujar dia pula.

sumber : ANTARA
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement