Kamis 12 Dec 2019 20:37 WIB

Optimistis Tatap 2020, Pertumbuhan Bertahan di Level 5%

Pertumbuhan ekonomi masih tetap ditopang konsumsi rumah tangga domestik.

Chief Economist Bank BNI Ryan Kiryanto (kanan).
Chief Economist Bank BNI Ryan Kiryanto (kanan).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kondisi perekonomian Indonesia diperkirakan tidak akan terlalu terpengaruh oleh perkembangan yang terjadi di dunia tahun depan. Chief Economist Bank BNI Ryan Kiryanto mengatakan Indonesia relatif terisolasi karena bukan pemain ekspor global.

Kalau pun ada ekonomi negara besar seperti Cina dan Amerika Serikat 'batuk-batuk', pengaruhnya tidak sampai memangkas pertumbuhan ekonomi nasional besar-besaran. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap bisa berada di kisaran lima persen. "Kalau ada tekanan global, pertumbuhan ekonomi kita akan tetap di kisaran lima persen karena ditopang konsumsi rumah tangga," ujarnya dalam sebuah acara diskusi di Jakarta, Kamis (12/12).

Baca Juga

Dengan hanya menjaga tingkat konsumsi rumah tangga domestik, Ryan mengatakan pertumbuhan ekonomi tahun depan paling tidak akan berada di angka 5,0 persen. Namun bila ingin pertumbuhan lebih besar lagi, perlu dilakukan cara-cara yang tidak biasa. Pengeluaran pemerintah harus digenjot, investasi dipompa, dan ekspor ditingkatkan.

Menurut Ryan, pengeluaran pemerintah yang besar bisa memberikan sinyal positif bagi kalangan pengusaha untuk ikut bersiap mengeluarkan belanjanya. Pengeluaran pemerintah juga diperlukan untuk menjaga masyarakat tetap mendapatkan pekerjaan.

Bahkan pengeluaran pemerintah melalui bantuan sosial (bansos) juga dibutuhkan terlepas dari apapun bentuknya. "Bagaimana caranya agar daya beli masyarakat terjaga dan mendapatkan uang untuk belanja," ujar Ryan menegaskan.

Tahun depan, Ryan melihat kalangan pengusaha akan lebih optimistis melihat kondisi perekonomian nasional. Imbasnya, kalangan perbankan pun lebih percaya diri untuk menyalurkan kreditnya yang tercermin dari proyeksi pertumbuhan kredit perbankan tahun depan di kisaran 11-13 persen. Jauh lebih tinggi dari perkiraan tahun ini yang hanya sembilan persen. "Bahkan BNI memproyeksikan pertumbuhan 13-15 persen," kata Ryan.

Kepala Kajian Iklim Usaha dan Rantai Nilai Global Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) UI, Mohamad D Revindo, juga optimistis melihat kondisi perekonomian nasional tahun depan. Namun melihat data-data perdagangan, investasi, dan indikator ekonomi lainnya sepanjang tahun ini ia memberikan sejumlah catatan.

Revindo menyoroti neraca jasa yang defisit 7 miliar dolar AS dan neraca pembayaran primer yang juga defisit hingga 30 miliar dolar AS. Pengusaha asing yang memperoleh keuntungan dari usahanya di Indonesia ternyata tidak mau menginvestasikan kembali atau reinvestasi keuntungannya itu di sini.

Lalu ada pula persoalan mismatch antara lokasi produksi ekspor dengan pelabuhan. Revindo menyontohkan Jawa Barat sebagai penyumbang 17 persen ekspor nasional namun tidak mempunyai pelabuhan ekspor sendiri. Ekspor Jawa Barat harus dilakukan melalui pelabuhan Tanjung Priok.

Padahal pengiriman logistik dari kawasan industri di Jawa Barat ke Pelabuhan Tanjung Priok terbilang cukup mahal. "Di sini pentingnya nanti keberadaan Pelabuhan Patimban yang sedang dibangun," kata dia.

Belum lagi persoalan sumber daya manusia dan pengupahan. Upah pekerja di sejumlah daerah dinilai Revindo sudah tidak sesuai dengan perhitungan pengusaha. Akibatnya terjadi migrasi industri ke daerah yang dinilai masih memiliki upah minimum rendah seperti ke Jawa Tengah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement