Selama ini, kesannya semua orang bisa membuka usaha kuliner. Namun, jika ingin berkembang lebih besar, sebenarnya juga tak mudah, karena cukup banyak tantangannya.
Tantangan yang biasa dihadapi pelaku usaha kuliner adalah kesulitan meningkatkan skala usaha, omset yang stagnan bahkan menurun, kesulitan mencari bahan baku, tingginya tingkat turnover karyawan, hingga tingginya jumlah restoran baru yang bangkrut. Adapun masalah teknis yang menghadang di antaranya pencatatan keuangan yang tidak rapi dan masih manual, sehingga menimbulkan adanya celah kecurangan.
Besarnya tantangan bagi para pebisnis kuliner di kalangan UMKM itulah yang mendorong Ageng Sajiwo (32 tahun) dan rekannya, Dimas Agil Tejo (30 tahun), menciptakan aplikasi bernama Restoku. Aplikasi ini dirancang untuk mempermudah manajemen resto bernama Restoku, dengan model layanan sebagai software as a service (SaaS), di bawah kelolaan PT Restoku Andalan Indonesia.
Menurut Ageng, Co-founder dan CEO PT Restoku Andalan Indonesia, melalui platform Restoku ini pengusaha kuliner dapat meningkatkan produktivitas dan mengembangkan usaha lebih cepat. Alasannya, ia mengklaim, semua fasilitas sudah tersedia dalam satu layanan manajemen resto lewat platform ini. Menurutnya, pengembangan aplikasi ini melewati proses yang cukup panjang.
Restoku, yang menyasar kalangan pengusaha kuliner skala UMKM, menawarkan tiga layanan (fitur) utama yang terintegrasi langsung dengan sistem cloud-nya. Pertama, fitur Point of Sales (POS), atau dikenal dengan aplikasi pengelolaan kasir secara online. Layanan ini dapat digunakan untuk membantu pembuatan laporan penjualan, pengaturan stok, dan pengelolaan pelanggan secara real-time.
Kedua, Point of SDM, yakni fitur untuk mempermudah pebisnis kuliner memperoleh tenaga kerja tanpa harus menghabiskan waktu dalam proses seleksi dan wawancara. Untuk aspek SDM ini, Restoku menjalin kemitraan dengan beberapa platform media online yang dapat membantu menyebarkan link khusus SDM. Sejauh ini, data SDM yang telah dimiliki meliputi area Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jakarta, dengan kurang-lebih 2.000 orang, dan akan terus bertambah.
Adapun fitur ketiga adalah Point of Supply yang mempermudah manajemen resto mendapatkan bahan baku. Dalam hal ini, Restoku sudah bermitra dengan tiga pemasok di area Yogyakarta untuk bahan pangan berupa sayuran, telur, dan ayam.
Namun, Ageng mengakui, pengembangan aplikasi Restoku ini masih menemui sejumlah tantangan. Di antaranya, kendala bug pada aplikasi, proses perluasan jaringan pemasaran yang mengarah pada daerah sub-urban, serta minimnya wawasan tentang platform digital di kalangan menengah-bawah.
Restoku menerapkan model bisnis dengan pola berlangganan (subscription-based). Biaya langganannya Rp 150 ribu per bulan per outlet.
Hingga kini, startup dengan basis operasional di Yogyakarta dan Surabaya ini mengklaim telah menggaet sekitar 9.000 klien. Mayoritas dari Pulau Jawa. “Berdasarkan data yang kami dapatkan, ada 30% peningkatan pertumbuhan bisnis usaha kuliner setelah menggunakan aplikasi Restoku,” kata Ageng yang sebelumnya menjabat CTO MakanDiantar, startup di bidang delivery makanan.
Saat ini Ageng beserta timnya terus berniat untuk mengajak kolaborasi banyak pihak, baik dari platform bisnis yang sama maupun startup lain yang mendukung pengusaha kuliner di kawasan sub-urban. Restoku termasuk salah satu startup yang telah mendapatkan pendanaan dari program Perusahaan Pemula Berbasis Teknologi (PPBT) Ristekdikti. Dana yang diperoleh dialokasikan untuk penguatan tim dan akuisisi pasar.
“Harapannya, Restoku menjadi salah satu startup yang bisa membantu para pengusaha UMKM kuliner agar lebih profitable, repeatable, dan scalable,” kata Ageng. (*)