Selasa 01 Oct 2019 08:41 WIB

Nasib Sriwijaya Air Diputuskan Besok

Kemenhub sudah memberikan toleransi waktu kepada Sriwijaya Air Group.

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Nidia Zuraya
Penumpang naik pesawat Sriwijaya Air.
Foto: Antara
Penumpang naik pesawat Sriwijaya Air.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perhubungan (Kemenhub) masih memberikan waktu kepada Sriwijya Air Group untuk menentukan langkah terkait operasionalnya. Direktur Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawar Udara Ditjen Perhubungan Udara Kemenhub Avirianto mengatakan pihaknya sudah memberikan toleransi waktu kepada Sriwijaya Air Group.

"Transisinya lima hari sampai 2 Oktober 2019. Kita menunggu surat pemberitahuan dari Direktur Utama (Sriwijaya Air) ke Dirjen Perhubungan Udara," kata Avirianto, Selasa (1/10).

Baca Juga

Sebab, kata dia, jika pihak internal yang mengambil keputusan akan lebih baik dibandingkan pemerintah yang memulai. Avirianto menilai jika sebelumnya ada rekomendasi untuk setop operasi biasanya dikarenakan persoalan suku cadang, dan berbagai hal.

"Kalau kita (Kemenhub) kan kasih kesempatan lima hari, tapi sebelum lima hari mereka sudah ambil tindakan menurut kami itu lebih baik," ujar Avirianto.

Jika hingga besok Sriwijaya Air belum menentukan langkahnya, Avirianto menegaskan Kemenhub akan memberikan pengawasan ketat setiap hari. Sebab menurutnya saat ini dari 30 pesawat yang dimiliki yang operasional hanya 12 unit saja.

"Berarti sistem kontrol kita dari Sriwijaya Air bagian kulitasnya saja sudah grounded 18 pesawat. Jadi kita awasi juga melibatkan inspektur-inspektur Sriwijaya Airsendiri kita authorized," jelas Avirianto.

Untuk itu, dia menegaskan pada dasarnya pemerintah tidak sewenang-wenang menentukan operasional Sriwijaya Air. Avirianto menuturkan Kemenhub memberikan keleluasaan bagi Sriwijaya Air untuk sadar sendiri jika tidam nampu maka bisa memberhentikan sendiri.

Sebelumnya, Direktur Operasi Sriwijaya Air Fadjar Semiarto dan Direktur Teknik Sriwijaya Air Ramdani Ardali Adang per 30 September 2019 engundurkan diri dari posisinya. Sebelum mengambil keputusan tersebut, keduanya sudah memberikan rekomendasi kepada Plt Direktur Utama Sriwijaya Air Jefferson I Jauwena untuk setop operasinal sementara.

Rekomendasi setop opeasi tersebut disarankan bisa dilakukan sampai pemulihan dari kondisi finansial. Sebab, kata Fadjar, kondisi finansial Sriwijaya Air Group menurutnya sangat berdampak kepada hampir semua aspek.

“Ini mulai dari sisi operasi, komersial, teknis, human capital, dan paling berat dari sisi finansial dengan keputusan setop operasi,” ujar Fadjar.

Fadjar menuturkan alasan terpenting rekomendasi tersebut dibuat karena berdasarkan indntifikasi hazard dan analisa risiko (Hira). Dia menegaskan Hira menjadi indikator yang memperlihatkan kondisinya sudah merah dengan status 4A.

“Status 4A itu kalau kita nggak bisa bawa (pesawat) menjadi kuning menjadikan kita rawan terhadap hal-hal dari kondisi normal,” tegas Fadjar.

Sementara itu, Ramdani mengungkapkan mengungkapkan ada beberapa kondisi yang dialami Sriwijaya Air setelah putus kerja sama dengan PT Garuda Maintenance Facilities (GMF) AeroAsia. "GMF sudah putus (kerja sama) dari 25 September 2019," kata Ramdani.

Ramdani menegaskan sejak putus kerja sama dengan GMF, suku cadang sudah tidak ada lagi. Dia menuturkan hanya ada oli, ban juga terbatas, dan keterbatasan teknisi kompeten dan memenuhi syarat.

"Misal di Cengkareng (Bandara Internasional Soekarno-Hatta) ada enam pesawat ditangani dua teknisi dan tiga mekanik itu daily check," jelas Ramdani.

Ramdani khawatir dengan kondisi tersebut karena kondisi Hira pesawat merah. Meski belum terjadi sesuatu, lanjut Ramdani, namun indikasi tersebut berpengaruh besar kepada keselamatan penerbangan.

"Karena surat tidak dipedulikan dan saya tidak mau menanggung yang terjadi, saya mengundurkan diri sebagai konsekuensi terhadap keselamatan penerbangan," jelas Ramdani.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement