Jumat 03 May 2024 21:50 WIB

Luhut: Tanpa Nikel Indonesia, Masa Depan EV di AS tak Terjamin

Ia pun mengatakan nikel Indonesia bisa menjadi lebih ramah lingkungan.

Rep: Antara/ Red: Gilang Akbar Prambadi
Seorang pekerja berjalan di area tungku pembakaran nikel di salah satu perusahaan smelter di Kecamatan Morosi, Konawe, Sulawesi Tenggara (ilustrasi).
Foto: ANTARA /Jojon
Seorang pekerja berjalan di area tungku pembakaran nikel di salah satu perusahaan smelter di Kecamatan Morosi, Konawe, Sulawesi Tenggara (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan komitmen pemerintah Indonesia untuk membangun industri kendaraan listrik (electric vehicle/EV) berkonsep hijau (green industry), terutama dalam pengolahan nikel sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik.

“Inisiatif pemerintah ada (untuk membangun industri hijau), dengan batasan dan pajak atas emisi karbon yang akan diberlakukan tahun ini, dan di saat yang sama pembangkit listrik tenaga batu bara baru sudah dilarang,” kata Luhut Binsar Pandjaitan di Jakarta, Jumat (3/5/2024). 

Baca Juga

Ia menuturkan bahwa upaya tersebut dilakukan agar industri pengolahan nikel di Indonesia dapat menjadi lebih ramah lingkungan, mengingat kini masih banyak smelter yang berbahan bakar batu bara.

Namun, ia tidak memungkiri bahwa realisasi program transisi hijau tersebut bergantung pada ketersediaan modal, yang salah satunya didapatkan melalui pendapatan ekspor olahan nikel maupun investasi asing secara langsung (direct foreign investment) untuk pembangunan pabrik smelter.

Ia pun menyayangkan adanya keberatan terhadap produk ekspor nikel Indonesia yang disampaikan oleh senator-senator Amerika Serikat (AS) terkait masalah lingkungan hidup karena masih digunakannya batu bara sebagai bahan bakar untuk smelter.

Dalam sebuah artikel yang dirilis 1 Mei lalu pada situs majalah Foreign Policy, Luhut menyampaikan bahwa hal tersebut merupakan tindakan yang tidak bijak karena dapat menghalangi keterjangkauan suplai nikel bagi industri kendaraan listrik di AS itu sendiri.

Hal ini mengingat Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia. Selain itu, penggunaan kendaraan listrik dapat memberikan manfaat karbon bersih bagi AS.

“Agar pengurangan emisi di AS bisa signifikan, rakyat AS harus lebih banyak menggunakan kendaraan bertenaga listrik. Sektor transportasi adalah penghasil emisi terbesar di negara tersebut, sementara sekarang kurang dari 1 persen kendaraan di AS adalah kendaraan listrik,” ucapnya.

Tulisan di situ majalan Amerika Serikat itu berjudul “Without Indonesia’s Nickel, EVs Have No Future in America”.

Dalam tulisan tersebut Luhut mengatakan tanpa nikel Indonesia, pasar kendaraan listrik Amerika akan terpuruk dan Indonesia punya cadangan logam terbesar di dunia

"Namun beberapa anggota Kongres AS, yang bekerja sama dengan pesaing asing dari Indonesia, telah memutuskan untuk menghalangi impor nikel olahan dari Indonesia. Adapun kini paksaan kepada perusahaan-perusahaan di sana untuk beralih dari penjualan kendaraan bertenaga gas, pada akhirnya pekerja otomotif AS lah yang akan dirugikan," tulis Luhut. 

Luhut melanjutkan bahwa keberatan para senator tersebut cenderung berfokus pada masalah lingkungan hidup lantaran banyak smelter di Indonesia yang menggunakan bahan bakar batu bara. Bagi sebagian orang itu kurang bisa diterima meskipun ada manfaat karbon bersih dari penghentian mesin pembakaran kendaraan di jalan nantinya. Menurut Luhut cara pandang seperti itu pada akhirnya merugikan diri mereka sendiri.

"Agar pengurangan emisi di AS bisa signifikan, rakyat AS harus lebih banyak menggunakan kendaraan bertenaga listrik. Sektor transportasi adalah penghasil emisi terbesar di negara ini, sementara sekarang kurang dari 1 persen kendaraan di AS adalah kendaraan listrik. Penerapannya secara luas akan bergantung pada keterjangkauan," kata Luhut. 

Ia pun mengatakan nikel Indonesia bisa menjadi lebih ramah lingkungan. Namun, agar ini terwujud, pembangunan ekonomi sangatlah penting lewat penerimaan ekspor atau investasi asing langsung.

"Inisiatif pemerintah juga ada dengan batasan dan pajak atas emisi karbon yang akan diberlakukan tahun ini, dan di saat yang sama pembangkit listrik tenaga batu bara baru sudah dilarang. Namun transisi hijau di Indonesia pada akhirnya bergantung pada modal," kata Luhut. 

Ia mengatakan kekhawatiran anggota parlemen AS terhadap lingkungan hidup atas usulan perjanjian perdagangan bebas juga didukung oleh ketegangan antara Beijing dan Washington. Perusahaan Tiongkok hadir dalam pemurnian nikel di Indonesia. Namun demikian pula dengan perusahaan-perusahaan Korea Selatan dan bahkan Amerika.

"Jika AS memutuskan untuk menerapkan larangan menyeluruh terhadap nikel Indonesia hanya karena kehadiran negara lain dalam industri tersebut, tindakan seperti itu akan bertentangan dengan jaminan Menteri Keuangan AS Janet Yellen bahwa sekutu Amerika di Indo-Pasifik tidak boleh dipaksa untuk memilih antara Tiongkok atau AS. Pada akhirnya, nikel Indonesia akan diekspor ke suatu tempat," kata Luhut. 

”Indonesia ingin bermitra dengan semua pihak. Terserah Washington apakah mau berjabat tangan untuk menciptakan masa depan yang lebih hijau. Namun negara saya tidak akan menunggu tanpa batas waktu," tegas Luhut lagi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement