Selasa 17 Sep 2019 03:08 WIB

Penggabungan SKM dan SPM tak Pengaruhi Pabrikan Rokok Kecil

Perusahaan yang benar-benar kecil tidak akan terkena dampak sama sekali.

Pekerja menandai kualitas tembakau rajangan di gudang penyimpanan tembakau. (ilustrasi)
Foto: Antara/Aji Styawan
Pekerja menandai kualitas tembakau rajangan di gudang penyimpanan tembakau. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penggabungan batasan produksi Sigaret Kretek Mesin (SKM) dengan Sigaret Putih Mesin (SPM) menjadi 3 miliar batang dinilai tidak akan memengaruhi perusahaan rokok kecil. Anggota Komisi XI DPR, Amir Uskara, mengatakan penggabungan itu justru akan menciptakan persaingan usaha yang adil di industri hasil tembakau.

Alasannya melalui kebijakan ini, pabrikan besar asing akan membayar tarif cukai rokok tertinggi. Dengan begitu, produk pabrik besar itu tak akan bersaing langsung dengan pabrikan lokal kecil yang membayar tarif cukai rokok lebih rendah.

“Perusahaan yang benar-benar kecil tidak akan terkena dampak sama sekali karena penggabungan produksi mereka tidak mungkin sampai pada batas skema yang ada,” ujar Amir di Jakarta, Senin (16/9).

Amir justru mengingatkan pemerintah bahwa bila tidak segera merealisasikan penggabungan SKM dan SPM menjadi tiga miliar batang, maka persoalan yang terjadi akan semakin kompleks. Pertama, pabrikan rokok besar asing akan terus menikmati tarif cukai murah.

Kedua, iklim bisnis menjadi tidak kondusif karena pabrikan besar menghadapi pabrikan kecil. Dan ketiga, pabrikan rokok besar asing terus melakukan tax avoidance. “Kami akan sangat mengapresiasi Kemenkeu Keuangan terutama Bea Cukai dan BKF jika skema yang pernah disampaikan ke Komisi XI dapat direalisasikan secara utuh," ucap Amir.

Sebelumnya, INDEF menyatakan ada ketidaksesuaian tarif cukai rokok dimana terdapat perusahaan yang tidak ingin mencapai batas produksi SKM dan SPM tiga miliar batang. Jumlah tersebut merupakan batas minimal produksi agar sebuah perusahaan rokok membayar tarif cukai tertinggi (golongan 1). Akibatnya terdapat potensi kehilangan pendapatan negara mencapai Rp 926 miliar.

“Betapa penting mengatur level playing field yang sehat tanpa mengurangi pendapatan negara,” ujar Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad.

Data INDEF menunjukkan ada pabrikan besar asing yang memproduksi SPM sebanyak 2,9 miliar batang atau hanya 100 ribu di bawah batas 3 miliar batang agar mereka terhindar dari cukai tertinggi. Dengan cara itu, pabrikan itu cukup membayar tarif golongan 2 yang nilainya jauh lebih murah.

“Dia menahan produksi, lalu gantinya dia menciptakan merek baru. Padahal kalau ditotal jumlahnya lebih dari tiga miliar batang,” ujar Tauhid.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement