Senin 16 Sep 2019 16:53 WIB

Cukai Naik, Harga Saham Emiten Rokok Terkoreksi 20 Persen

Sentimen cukai rokok menyebabkan panic selling oleh investor.

Rep: Retno Wulandhari/ Red: Friska Yolanda
Pedagang menunjukan bungkus rokok bercukai di pasar Minggu, Jakarta, Ahad (15/9).
Foto: Republika/Prayogi
Pedagang menunjukan bungkus rokok bercukai di pasar Minggu, Jakarta, Ahad (15/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah berencana menaikkan cukai rokok mulai 2020 sebesar 23 persen dan diikuti kenaikan harga jual eceran (HJE) sebesar 35 persen. Kebijakan tersebut memberikan dampak yang cukup signifikan bagi industri rokok di Tanah Air.

Dampak tersebut tercermin dari pergerakan harga saham dua perusahaan rokok nasional, PT Gudang Garam Tbk (GGRM) dan PT HM Sampoerna Tbk (HMSP). Pada pembukaan perdagangan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hari ini, harga saham GGRM anjlok hingga 20 persen. 

Ditutup dengan harga Rp 68.800 pada perdagangan Jumat (13/9) lalu, GGRM pada Senin (16/9) dibuka di zona merah dengan harga Rp 59.050 per saham. Sepanjang hari ini, GGRM hanya diperdagangkan di kisaran Rp 54.000-Rp 59.050 per saham. Harga saham ditutup di level Rp 54.600 per lembar.

Demikian halnya dengan harga saham HMSP. Pada pagi ini HMSP dibuka melemah dengan harga saham Rp 2.380 atau turun 15 persen dari penutupan perdagangan sebelumnya yang mencapai Rp 2.800. Saham HNSP ditutup di level Rp 2.290 per lembar.

Analis PT Panin Sekuritas Tbk, William Hartanto, mengatakan kenaikan cukai tembakau menjadi sentimen negatif dari anjloknya harga saham kedua perusahaan rokok ini. "Sentimen cukai rokok yang relatif besar maka terjadi panic selling dan keduanya menurun," ujar, Senin (16/9). 

Sementara itu, pengamat Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adinegara, melihat ekspektasi investor terhadap performa emiten di sektor rokok akan menurun di 2020. Kenaikan dinilai cukai akan menggerus profit perusahaan. 

"Jika tahun 2020 kenaikan cukainya sudah tinggi, bukan tidak mungkin 2021 akan naik lebih tinggi dengan alasan pengendalian efek ke kesehatan maupun penerimaan negara," terang Bhima.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement