Kamis 08 Aug 2019 05:24 WIB

Dampak Investasi ke Sektor Ril Belum 'Nendang'

Meskipun investasi lebih tinggi dari tahun lalu, penyerapan tenaga kerja menurun.

Rep: Adinda Pryanka / Red: Friska Yolanda
Ilustrasi Investasi
Foto: Mgrol101
Ilustrasi Investasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus menilai, investasi yang masuk ke Indonesia belum memiliki dampak signifikan terhadap sektor riil. Hal ini terlihat dari dorongannya terhadap pertumbuhan industri maupun penyerapan tenaga kerja.

Berdasarkan data yang dikutip dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), total investasi yang masuk ke Indonesia hingga kuartal kedua 2019 adalah Rp 200,5 triliun. Angka tersebut lebih tinggi dibanding dengan periode yang sama pada tahun lalu, yakni Rp 176 triliun.

Baca Juga

"Tapi, penyerapan tenaga kerja justru menurun," ujar Heri dalam diskusi dengan media di Jakarta, Rabu (7/8).

Masih berdasarkan data BKPM, Heri menuturkan, investasi pada kuartal kedua ini hanya mampu menyerap tenaga kerja sekitar 255 ribu orang. Sedangkan, pada periode yang sama pada tahun lalu, tingkat penyerapan dapat mencapai 289 ribu orang.

Di sisi lain, kenaikan investasi tersebut juga tidak diiringi dengan pertumbuhan industri pengolahan yang hanya tumbuh 3,98 persen. Angka tersebut berada di bawah tingkat pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal kedua, 5,05 persen.

"Artinya, investasi besar yang masuk belum mampu dorong kinerja sektor riil," ujar Heri.

Padahal, Heri menambahkan, industri memiliki peranan besar terhadap ekonomi dalam negeri. Dikutip dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada kuartal kedua 2019, kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 19,52 persen.

Selain itu, dilihat dari rasio Incremental Capital Output Ratio (ICOR), Indonesia masih berada di level 6,4. ICOR merupakan rasio antara investasi dengan pertumbuhan ouptut regional. ICOR dapat menjadi salah satu parameter yang menunjukkan tingkat efisiensi investasi di suatu negara, di mana semakin tinggi nilainya berarti semakin tidak feisien suatu negara untuk investasi.

Negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand sudah menyentuh masing-masing 4,6 dan 4,5. Artinya, daya tarik investasi Indonesia masih lebih kecil dibanding dengan negara lain karena dianggap lebih tidak efisien. "Ini makanya investasi banyak yang tidak nendang," tutur Heri.

Dengan dua dampak yang tidak efektif, Heri menilai, ada permasalahan dari model investasi ke Indonesia. Yakni, investor semakin tidak melirik sektor primer (pertambangan dan pertanian) dan sekunder (manufaktur) dan mulai beralih ke sektor tersier (jasa). Padahal,  sektor tersier cenderung capital intensive atau padat modal, bukan labour intensive atau padat karya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement