REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan pemerintah tak bisa hanya andalkan konsumsi jika ingin ekonomi tumbuh di atas 5,1 persen. Pemerintah perlu mendorong sektor manufaktur dan investasi industri untuk mencapai target itu.
Target 5,1 persen dinilai sulit tercapai jika hanya andalkan konsumsi. Hal ini karena sektor konsumsi juga tidak terlepas dari persoalan perlambatan konsumsi dan harga komoditas yang masih rendah.
"Konsumsi rumah tangga mendominasi kue PDB (Produk Domestik Bruto) tapi tidak bisa diharapkan tumbuh lebih dari 5,1 persen karena ada perlambatan konsumsi, menurunnya kepercayaan konsumen khususnya kelas menengah atas karena stabilitas politik, dan harga komoditas yg rendah," ujar Bhima saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (16/6).
Pemerintah perlu mendorong sektor produktif. Secara natural, kata Bhima, sektor jasa pasti akan tumbuh lebih tinggi. Namun, hal tersebut perlu didorong oleh kebijakan pemerintah.
"Sektor jasa itu naturally akan tumbuh lebih tinggi dri sektor tradable atau penghasil barang baik manufaktur atau pertanian. Jadi berharap pada jasa tanpa campur tangan kebijkan pemerintah bisa saja," ujar Bhima.
Hanya saja, persoalan kualitas tenaga kerja dan persoalan nilai tambah tidak sebesar apabila pemerintah menggenjot pertumbuhan sektor manufaktur. "Masalahnya jasa kualitas serapan tenaga kerja nya kurang, multiplier effect tidak sebesar manufaktur," ujar Bhima.
Ke depan, pemerintah punya strategi yang baik dalam menggenjot sektor manufaktur dan mendorong investasi di kawasan industri. "Artinya kalau mau pertumbuhan tinggi dan berkualitas kuncinya di manufaktur penghasil ekspor dan dorong investasi dikawasan industri," ujar Bhima.
Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo optimistis, prospek ekonomi dalam negeri pada 2020 akan membaik. Pertumbuhan ekonomi tahun depan diproyeksikan berada di kisaran 5,1 hingga 5,5 persen atau lebih tinggi dibanding dengan perkiraan tahun ini, yakni antara 5,0 hingga 5,4 persen.
Prospek tersebut ditopang oleh permintaan domestik yang meningkat. Dari sisi ini, konsumsi yang diperkirakan masih menjadi penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap tumbuh tinggi. "Selain itu, investasi swasta juga diperkirakan cukup meningkat," ujarnya dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR di gedung DPR, Jakarta, Kamis (13/6).
Hal itu damini oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani. Salah satu indikator investasi yakni pembentukan modal tetap bruto (PMTB) ditargetkan Sri Mulyani pada 2020 untuk tumbuh 7 persen sampai 7,4 persen.
Pertumbuhan investasi di rentang tersebut dibutuhkan untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi ke rentang 5,3 persen hingga 5,6 persen pada 2020. Sedangkan, sumber tekanan terhadap kurs yang ketiga adalah stagnasi harga komoditas yang akan memengaruhi kinerja ekspor Indoneisa.
Seperti diketahui, Indonesia masih mengandalkan komoditas seperti batu bara dan minyak sawit mentah untuk ekspor. "Namun, selain depresiasi, di 2020 ada juga faktor yang akan mendorong apresiasi rupiah, seperti tidak berlanjutnya normalisasi kebijakan moneter the Fed, Bank Sentral AS, dan masuknya arus modal asing seiring membaiknya perekonomian domestik," kata Sri.