Selasa 14 May 2019 16:50 WIB

Impor Avtur Disetop, Neraca Migas Mei Diprediksi Membaik

Ekonomi global juga memberikan efek pelemahan rupiah terhadap dolar AS.

Rep: Adinda Pryanka / Red: Friska Yolanda
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution
Foto: dok. Biro Humas Kemenko Perekonomian
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution memprediksikan, neraca perdagangan minyak dan gas (migas) pada bulan Mei dapat membaik, meski masih defisit. Sebab, pemerintah sudah mulai mengaplikasikan pemberhentian impor avtur dan solar. Sebagai gantinya, Pertamina akan memenuhi kebutuhan dari ketersediaan dalam negeri.

Darmin memproyeksikan, dengan program tersebut, nilai impor migas akan berkurang. Namun, ia belum dapat menyebutkan penurunan tersebut secara detail. "Kita rapat dulu dengan Pertamina dan (Kementerian) ESDM," ujarnya ketika ditemui di kantornya, Jakarta, Selasa (14/5). 

Baca Juga

Di sisi lain, Darmin menyebutkan, kebijakan penghentian impor avtur dan solar juga akan berpengaruh terhadap penurunan nilai ekspor crude oil atau minyak bumi. Sebab, bahan baku dalam negeri akan lebih banyak dimanfaatkan untuk kebutuhan domestik dibandingkan ekspor. 

Akan tetapi, Darmin mengakui, kondisi neraca dagang masih sulit lepas dari defisit, termasuk untuk bulan April. Perlambatan ekonomi global akibat perang dagang disebutnya sebagai faktor utama. Kondisi tersebut akan membawa perlambatan pertumbuhan permintaan negara lain terhadap komoditas Indonesia. 

Selain itu, Darmin menambahkan, ekonomi global juga memberikan efek pelemahan rupiah terhadap dolar AS. Menurutnya, situasi internasional kini sedang tidak kondusif yang selalu berdampak pada negara berkembang, termasuk Indonesia. 

Faktor ini ditambah dengan permintaan dolar AS yang meningkat dan pembagian dividen berdasarkan laporan keuangan yang sudah ditutup bulan lalu. "Sebenarnya pembagian dividen sudah mulai berjalan bulan lalu, tapi masih ada yang tersisa," kata Darmin. 

Sementara itu, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, kebijakan penurunan ataupun penghentian impor avtur dan solar lebih terkait antisipasi penurunan permintaan dua bahan bakar tersebut. 

Berdasarkan data Pertamina yang dimiliki Bhima, rata-rata penjualan avtur perusahaan pada 2019 secara year to date (ytd) adalah 13.414 kilo liter (kl) per hari. Jumlah itu 14,04 persen lebih rendah dari jumlah tahun lalu yang ada di 15.606 kl per hari. 

Bhima menjelaskan, penurunan permintaan tersebut disebabkan harga tiket pesawat yang mahal, sehingga tingkat penumpang pesawat turun. “Dampaknya, kebutuhan maskapai terhadap bahan bakar turun,” ucapnya ketika dihubungi Republika.co.id, Senin (13/5). 

Bhima menilai, kondisi in i bukan karena Pertamina meningkatkan produksi avtur, tapi lebih ke sisi permintaan yang lemah. Begitu pun dengan solar. Efek dari perlambatan pertumbuhan industri manufaktur, pertambangan yang lesu dan angkutan logistik antar daerah yang berada dibawah ekspektasi berimbas ke penurunan permintaan solar.

"Jadi, (kebijakan penghentian impor solar dan avtur) bukan karena memangkas CAD tapi lebih disebabkan permintaan masyarakat dan industri yang lesu," tutur Bhima. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement