Senin 01 Oct 2018 17:36 WIB

Arcandra: Defisit Neraca Migas Lebih Baik dari 2013-2014

Pada 2018, defisit hingga Agustus tercatat sebesar 7,2 juta dolar AS.

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Friska Yolanda
Seorang pekerja mengoperasikan separator untuk memisahkan minyak, gas dan air di Central Processing Area (CPA) Mudi di Desa Rahaju, Kecamatan Soko, Tuban, Jawa Timur, Selasa (17/7).
Foto: ANTARA FOTO/Aguk Sudarmojo
Seorang pekerja mengoperasikan separator untuk memisahkan minyak, gas dan air di Central Processing Area (CPA) Mudi di Desa Rahaju, Kecamatan Soko, Tuban, Jawa Timur, Selasa (17/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meski saat ini Indonesia masih mengalami defisit neraca gas, defisit yang terjadi sepanjang 2017 hingga 2018 tidak lebih buruk daripada defisit yang terjadi pada 2013-2014. Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengatakan, defisit tertinggi neraca gas selama sepuluh tahun terakhir berada di tahun 2013-2014.

Kementerian ESDM mencatat defisit neraca pada 2013 sebesar 8,6 juta dolar AS. Pada 2014, defisit tercatat sebesar 11,8 juta dolar AS. Sebelum 2013, defisit neraca berada di angka 5,3 juta dolar AS.

"Sedangkan pada 2017 dan 2018, defisit sudah mulai turun ke angka 7 juta dolar AS. Artinya apa? Defisit yang terjadi saat ini bukan berarti paling besar. Kita pernah defisit lebih besar di tahun 2013-2014," ujar Arcandra di Kementerian ESDM, Senin (1/10).

Pada 2017, tercatat defisit neraca migas sebesar 7,7 juta dolar AS. Sedangkan pada 2018, defisit hingga Agustus tercatat sebesar 7,2 juta dolar AS. 

"Memang prognosis kita hingga akhir tahun defisit tahun ini akan lebih besar daripada tahun kemarin, tapi nggak lebih besar dari 2014," kata Arcandra.

Arcandra mengatakan, defisit neraca disebabkan oleh dua hal. Dua hal itu adalah pergerakan harga minyak mentah dan konsumsi minyak yang memang meningkat. 

Baca juga, Empat Langkah Pemerintah Kendalikan Defisit Migas

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement