REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah memandang pelemahan nilai tukar rupiah pada awal pekan ini tidak mengkhawatirkan. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menilai, faktor pemicu pelemahan kurs rupiah kali ini lebih banyak dari sisi eksternal yakni perang dagang Amerika Serikat dan Cina, bukan dari dalam negeri.
Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Selasa (14/5), memang melemah dipicu aksi saling balas ancaman dagang AS dan Cina. Rupiah pada Selasa (14/5) pagi melemah 32 poin atau 0,22 persen menjadi Rp 14.455 per dolar AS, dibandingkan hari sebelumnya Rp 14.423 per dolar AS.
"Ya memang situasinya sekarang lebih dinamis. Setelah tadinya mulai agak tenang mendekati Rp 13.900 (per dolar AS). Sekarang kan lebih dinamis lagi. Kalau mengkhawatirkan sih tidak," jelas Darmin usai menemui Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Kantor Presiden, Selasa (14/5).
Sebelumnya, ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih mengatakan saling mengancam dan membalas antara AS dan Cina membuat sentimen negatif pasar global seiring dengan ketidakpastian yang meningkat. "Konflik dagang ini akan membuat volume perdagangan dunia turun dan melambatnya ekonomi global," ujar Lana di Jakarta.
Pasca gagalnya kesepakatan dagang antara AS-Cina dan mulai efektifnya tarif baru dari AS sebesar 25 persen atas barang-barang impor Cina senilai 200 miliar dolar AS pada Jumat (10/5) pekan lalu, Cina melakukan pernyataan pembalasan akan mengenakan kenaikan tarif terhadap barang-barang impor dari AS senilai 60 miliar dolar AS pada 1 Juni 2019.