REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, pemerintah sudah menyiapkan antisipasi situasi ekonomi Indonesia dalam kurun waktu lima tahun ke depan sejak jauh-jauh hari. Bahkan, menurutnya, persiapan telah dilakukan sejak dua sampai tiga tahun lalu.
Tapi, Darmin menjelaskan, perencanaan tersebut belum tentu dapat berjalan lancar dalam implementasinya. Sebab, banyak faktor insidental yang tidak terduga, terutama dalam hal perekonomian global.
"Akan muncul hal baru yang mempengaruhi ekonomi ke depan," ujarnya ketika ditemui usai menggunakan hak suaranya di TPS 20 Kelurahan Pancoran, Jakarta Selatan, Rabu (17/4).
Darmin menyebutkan, salah satu faktor yang mempengaruhi adalah perang dagang, terutama dari sisi Amerika Serikat (AS). Tadinya, Presiden AS Donald Trump optimistis akan menang perang dagang dengan China. Tapi, kini hampir semua negara terkena dampaknya dalam bentuk perlambatan ekonomi, termasuk di AS sendiri.
Hal tersebut berdampak pada perdagangan Indonesia, terutama dari sisi ekspor. AS merupakan pasar ekspor terbesar bagi Indonesia, di samping China dan Jepang. "Ekspor kita sudah menurun dua bulan terakhir," ucap Darmin.
Melihat kondisi yang ada, Darmin menambahkan, akan ada perkembangan baru yang juga harus dijawab dalam antisipasi kondisi ekonomi ke depan. Baik itu dalam bentuk perang dagang lagi maupun konflik lain yang turut memberikan imbas pada Indonesia dan negara berkembang lainnya.
Darmin memastikan, pemerintah tetap sudah memiliki antisipasi terhadap situasi insidental, terutama dari sisi ekspor. Artinya, bagaimana agar neraca dagang Indonesia dapat dipertahankan di angka surplus atau positif. Apabila tidak memiliki antisipasi, Indonesia akan dianggap sebagai negara penuh risiko.
Beberapa kebijakan jangka menengah untuk mengatasinya adalah infrastruktur, insentif fiskal seperti tax holiday dan online single submission (OSS). Di sisi lain, Darmin menambahkan, pemerintah juga sedang menyiapkan pengembangan pendidikan dan pelatihan vokasi hingga percepatan reforma agraria. "Itu tetap penting, namun kini yang lebih mendesak adalah ekspor," tuturnya.
Sementara itu, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho mengatakan, pekerjaan rumah pemerintah saat ini adalah ekspansi tujuan ekspor ke pasar-pasar non tradisional. Tujuannya, agar Indonesia lebih kuat dalam menghadapi gejolak ekonomi global.
Saat ini, Andry menilai, pemerintah memang sudah gencar ekspansi pasar, namun masih terfokus ke negara-negara berkembang Asia dan Amerika Latin. Padahal, negara tersebut tidak memiliki tingkat konsumsi dan level income yang lebih rendah dibanding dengan negara maju. "Sebut saja Australia dan Eropa," katanya kepada Republika, Selasa (16/4).
Andry menambahkan, pemerintah Indonesia dapat memanfaatkan pakta perdagangan Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA CEPA) yang sudah ditandatangani beberapa waktu lalu. Termasuk untuk produk tekstil dan produk tekstil (TPT) yang sedang berkembang.
Tapi, Andry mengakui, tantangan berat bagi industri Indonesia saat ini adalah China yang memiliki industri manufaktur dengan perkembangan pesat. Selain itu, ada Vietnam dengan pertumbuhan Foreign Direct Investment (FDI) manufaktur yang tinggi dibanding dengan Indonesia.
Pada 2015, FDI Vietnam untuk sektor manufaktur saja tercatat sebesar 16,4 miliar dolar AS. Sedangkan, di tahun yang sama, nilai FDI manufaktur Indonesia hanya 11,7 miliar dolar AS. "FDI Indonesia saat ini sudah mengalami pergeseran dari sektor sekunder (manufaktur) ke sektor tersier (industri jasa)," katanya.