REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Asosiasi e-Commerce Indonesia (IdEA) Ignatius Untung menyambut baik keputusan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menarik Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210 Tahun 2018 Tentang Perlakuan Perpajakan Atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (E-Commerce). Keputusan ini dinilai Untung sebagai upaya pemerintah memperhatikan concern pengusaha digital, dalam hal ini adalah marketplace.
Untung menjelaskan, PMK 210/2018 merupakan regulasi yang tidak mengatur pajak secara langsung, namun membuat pasar menjadi penuh was-was. "Jadi, dampaknya ke pajak belum tentu terasa, sementara risikonya besar," katanya ketika dihubungi Republika, Jumat (29/3).
Untung menuturkan, rasa was-was yang dimaksud adalah karena masih banyak poin yang tidak jelas dalam regulasi tersebut. Di antaranya, batasan nominal yang dikenakan pajak, mekanisme pengumpulan nomor pokok wajib pajak (NPWP) dan pengumpulan pajaknya sendiri.
Selain itu, Untung menambahkan, pemerintah juga belum mengatur tentang keadilan dalam playing of field. Di antaranya, untuk memperlakukan sama terhadap media lain seperti media sosial. "Hal-hal seperti ini yang kita perjuangkan dan sepertinya didengar," ucapnya.
Terlepas dari informasi yang simpang siur, Untung menilai, pemerintah dan pengusaha memiliki semangat sama. Kedua pihak ini menginginkan ekosistem ekonomi digital yang baik untuk semua orang, terutama masyarakat dan negara.
Ke depannya, Untung berharap, pengusaha dapat lebih dilibatkan dalam proses pembuatan peraturan atau kebijakan yang terkait. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahpahaman yang terlanjur beredar di masyarakat.
Terkait perkembangan pengumpulan NPWP oleh tiap marketplace, Untung kembali menyerahkan kepada masing-masing pemain. "Sebelum PMK keluar pun, sudah ada beberapa marketplace yang mengumpulkan NPWP dan NIK," ucapnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani memutuskan untuk menarik PMK 210/2018. Keputusan ini diambil untuk menghentikan kekisruhan dan spekulasi mengenai isu perpajakan di dunia digital.
Setidaknya ada empat faktor yang mendasari penarikan PMK 210/2018. Yakni, keinginan pemerintah untuk lebih menguatkan koordinasi antara kementerian dan lembaga, meningkatkan pemahaman seluruh pemangku kepentingan, penguatan infrastruktur digital dan menunggu hasil survei asosiasi. "Mempertimbangkan empat faktor ini, saya putuskan menarik PMK 210/2018," tuturnya.
Dengan penarikan PMK tersebut, Sri memastikan perlakuan perpajakan untuk seluruh pelaku ekonomi tetap mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Para pelaku usaha baik e-commerce maupun konvensional yang menerima penghasilan hingga Rp 4,8 miliar dapat memanfaatkan skema pajak final dengan tarif 0,5 persen dari jumlah omzet usaha.
Sri menegaskan, pemerintah terus melakukan pendekatan secara komprehensif agar masyarakat tidak merasa ada satu kelompok yang dikhususkan. Membayar pajak merupakan kewajiban semua pihak yang sudah sesuai dengan kriteria perundang-undangan.
PMK 210/2018 seharusnya berlaku efektif pada 1 April 2019. Aturan baru ini mewajibkan pedagang (seller) yang telah berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau beromzet Rp 4,8 miliar setahun untuk memungut PPN 10 persen dari pembeli (buyer), dan selanjutnya menyetor Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM).
Sementara itu, untuk pedagang atau penyedia jasa yang belum berstatus PKP, tidak diwajibkan memungut PPN dari konsumen. Namun, diwajibkan menyetor NPWP dan nomor induk kependudukan (NIK) kepada penyedia platform marketplace.