Kamis 21 Mar 2019 17:49 WIB

Ancaman Retaliasi Sawit, Impor Bahan Baku Terancam?

Komoditas sawit masih dibutuhkan pasar dunia.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Friska Yolanda
Seorang pekerja mengawasi proses pemuatan minyak sawit mentah (CPO) ke dalam kapal untuk diekspor ke luar negeri di Pelabuhan Pelindo I Dumai di kota Dumai, Dumai, Riau, Sabtu (22/9). Produksi CPO dan turunannya untuk tujuan ekspor keluar negeri melalui pelabuhan umum di Kota Dumai sampai dengan Juni 2018 mencapai 2,1 juta ton.
Foto: Aswaddy Hamid/Antara
Seorang pekerja mengawasi proses pemuatan minyak sawit mentah (CPO) ke dalam kapal untuk diekspor ke luar negeri di Pelabuhan Pelindo I Dumai di kota Dumai, Dumai, Riau, Sabtu (22/9). Produksi CPO dan turunannya untuk tujuan ekspor keluar negeri melalui pelabuhan umum di Kota Dumai sampai dengan Juni 2018 mencapai 2,1 juta ton.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan (Kemendag) Arlinda mengungkapkan, hingga saat ini Indonesia masih berupaya membuka pasar baru untuk mengantisipasi ancaman retaliasi dagang Indonesia ke Uni Eropa terkait sawit. Diketahui, hingga saat ini Indonesia masih mengimpor produk otomotif dari Eropa.

“Kalau di suatu negara ada hambatan, kita bisa cari negara lain. Pemerintah sedang melakukan negosiasi untuk itu,” kata Arlinda kepada wartawan saat melepas ekspor perdana bus ke Bangladesh, di Jakarta, Kamis (21/3).

Baca Juga

Diketahui sebelumnya, pemerintah mengancam akan memboikot produk-produk Uni Eropa untuk melawan diskriminasi yang dilakukan negara-negara di kawasan tersebut terhadap kelapa sawit. Retaliasi dagang akan diambil pemerintah jika parlemen Eropa menyetujui rancangan kebijakan dalam Renewable Energy Directive (RED) II yang diajukan Komisi Eropa pada 13 Maret lalu.

Menanggapi hal tersebut, Arlinda menyatakan akan mengalihkan pasar ke negara-negara seperti Timur Tengah, Afrika, Amerika Latin, dan juga Asia. Untuk itu, kata dia, pemerintah perlu lebih banyak menjalin kerja sama-kerja sama dagang guna memperluas jangkauan pasar ekspor.

Sedangkan terkait impor bahan baku sejumlah produk dari Eropa, Arlinda mengaku pemerintah akan mengatasi hambatan-hambatan dagang dengan beragam cara. Kendati demikian, dia belum mau mengungkapkan langkah seperti apa yang akan ditempuh pemerintah.

“Itu nanti Pak Menteri saja yang bicara, kita tunggu saja langkah pemerintah terkait ini akan seperti apa,” katanya.

Terkait sawit, dia menambahkan, keunggulan serta kelebihan komoditas tersebut jika dibandingkan dengan minyak nabati lain masih sangat unggul. Sehingga dalam persaingan dagang yang ada, kata dia, komoditas tersebut masih dibutuhkan pasar dunia.

Perlu diketahui, Uni Eropa mencoret sawit dari bahan baku biofuel karena dianggap tidak ramah lingkungan sebab menyebabkan deforestasi atau kerusakan hutan. Sementara itu sebagai negara penghasil sawit terbesar dunia, Indonesia berusaha melawan diskriminasi tersebut.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor biodisel Indonesia ke Uni Eropa pada 2016 sebesar 164 ribu kiloliter dan mengalami peningkatan pada 2018 menjadi 1,56 juta kiloliter atau naik sebesar 851 persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement