REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Eskalasi politik semakin meningkat menjelang pemilihan umum (pemilu) 17 April 2019. Sektor pangan pun turut terimbas. Sebagai salah satu sektor strategis, pangan kerap dijadikan bahan perdebatan dan tak ayal menyebabkan para pelaku sektor pangan turut terseret ke dalam konstelasi politik.
Gelagat ini ditangkap Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir. Winarno menilai berbagai demonstrasi ataupun pemberitaan yang mengatasnamakan peternak dan petani menjelang pemilu malah semakin mempertegas adanya muatan politik di tengah suasana pesta demokrasi tahun ini.
“Kami merasa sudah cukup petani dan peternak dijual untuk kepentingan politik. Kalau benar petani, pasti mereka sedang sibuk bekerja, bukan menyebar kebencian, apalagi menjadi provokator,” tegas Winarno.
Sektor pangan, menurut Winarno, masih menyisakan berbagai permasalahan, salah satunya mafia pangan. Akan tetapi, Winarno menyebutkan, pembangunannya sudah sesuai jalur. “Menurut saya, pertanian kita sudah on the track. Kalau ada masalah, seharusnya dicari solusinya. Kalau dicari-cari celanya dan kelemahan pertanian saat ini, ya bisa saja. Apalagi di tahun politik ini, yang dicari yang kurang-kurang terus," ujar Winarno.
Lebih lanjut, persoalan mafia pangan dinilai Winarno masih menjadi hantu yang menghambat kinerja sektor ini. Dia menghargai pemerintah yang sudah berupaya memberantas mafia pangan melalui deregulasi sejumlah peraturan.
“Banyak regulasi yang menghambat dicabut dan direvisi, keluhan petani seperti kelangkaan pupuk juga diperhatikan. Misalnya, sebanyak 40 kasus pupuk oplos yang menghantui petani juga diselesaikan dengan cepat. Persekongkolan tata niaga yang dipermainkan kartel daging sapi, ayam, telur, jagung, dan lainnya juga sudah ditindak bekerja sama dengan KPPU,” kata Winarno.
Ketua Asosiasi Champion Cabai Indonesia Tunov Mondro Atmodjo juga mengungkapkan keberatan terhadap politisasi sektor pertanian. Dia bahkan mencurigai adanya upaya politisasi petani dengan sejumlah aksi berbagai pihak atau organisasi yang mengatasnamakan petani untuk mendiskreditkan kebijakan program dan capaian sektor pertanian.
“Akhir tahun 2018 kemarin, ada pusat kajian mencatut nama berbagai organisasi pertanian dalam petisi. Kali ini juga, mengatasnamakan petani selalu menginisiasi pertemuan untuk mendiskreditkan kinerja sektor pangan,” kata Tunov.
Bahkan, Tunov menduga politisasi sektor pangan saat ini tidak lepas dari peran dan permainan para mafia pangan. Penyebabnya tak lain karena keputusan pemerintah untuk menekan tingkat impor pangan yang telah membuat ruang gerak mafia pangan semakin sempit.
“Jadi, jangan karena tidak bisa bermain impor, petani dijual-jual. Kami petani sangat untung saat ini, hasil panen melimpah, pasar dijamin, dan berbagai inovasi budidaya, pascapanen, dan pemasaran sangat terasa,” kata dia.