Senin 26 Nov 2018 11:20 WIB

Relaksasi DNI Bukan Solusi Atasi Permasalahan Investasi

Perlu dilakukan harmonisasi aturan antara pemerintah pusat dan daerah.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Investasi.   (ilustrasi)
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Investasi. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Penelitian Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam menjelaskan, relaksasi Daftar Negatif Investasi (DNI) belum tentu efektif dalam menarik investor asing. Sebab, permasalahan investasi di Indonesia saat ini lebih ke fundamental, yakni birokrasi perizinan dan harmonisasi kebijakan pemerintah pusat dengan daerah.

Pieter mengatakan, tidak efektifnya relaksasi DNI sudah terjadi pada Paket Kebijakan Ekonomi X pada 2016. Hasilnya saat itu tidak begitu baik dengan minim investasi yang masuk. 

"Persoalan ini bisa saja kembali terjadi dalam implementsi Paket Kebijakan Ekonomi XVI yang baru diumumkan pemerintah beberapa pekan lalu," tuturnya kepada Republika.co.id, kemarin.

Permasalahan utama dalam investasi Indonesia adalah konsistensi kebijakan. Pieter memberikan contoh kebijakan untuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mangke di Sumatera Utara. Pemerintah menjanjikan beberapa fasilitas di KEK, seperti rel kereta api menuju Tanjung Balai, yang sampai saat ini belum dibangun.

Padahal, Pieter mengatakan, investor asing sudah masuk ke KEK Sei Mangke. Dengan sikap pemerintah yang tidak konsisten, investor akan kecewa dan bahkan mengurangi kemungkinan akan menanamkan modal kembali pada kemudian hari.

Permasalahan lain yang tidak kalah krusial adalah tidak harmonis atau sepahamnya antara pemerintah pusat dengan daerah dalam konteks perizinan dan implementasi kebijakan investasi. Apabila melihat data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), izin prinsip investasi naik drastis tapi hanya setengah di antaranya yang dikeluarkan.

Pieter menjelaskan, kondisi terseut menggambarkan bahwa banyak investor asing yang ingin menanamkan modal di Indonesia. Tapi, mereka sulit untuk merealisasikannya karena masih bingung dengan kebijakan yang berlaku. "Terakhir, OSS (Online Single Submission) yang masih menimbulkan kebinungan dan sulit terealisasi," ujarnya.

Pieter menganjurkan pemerintah fokus terhadap permasalahan fundamental tersebut. Alih-alih melakukan relaskasi DNI melalui kebijakan baru, seharusnya pemerintah melakukan evaluasi untuk mengetahui persoalan utama investasi. Dengan begini, kebijakan dapat menjadi solusi yang efektif.

Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance Andry Satrio Nugroho menjelaskan, kebijakan revisi DNI harus dilakukan secara hati-hati. Apalagi, untuk 25 sektor yang dibuka untuk penanaman modal asing (PMA) tersebut menjadi 100 persen. 

"Revisi itu tentu tidak bisa diubah lagi dengan mengurangi kontribusi oleh PMA," ucapnya.

Andry menilai, pemerintah tampak terburu-buru membuat kebijakan untuk menambah kontribusi PMA pada sektor-sektor ini. Sebab, melihat realisasi investasi PMA Indonesia di  kuartal III 2018 cukup rendah, lebih rendah dari penerimaan modal dalam negeri (PMDN).

Apabila ingin meningkatkan PMA, Andry menambahkan, yang perlu dilakukan pemerintah cukup menyediakan informasi market infrastructure dari permintaan domestik dan global. Pemerintah juga harus menyediakan supply infrastructure, seperti akses kepada harga energi dan logistik yang terjangkau. "Sekaligus menyelesaikan perijinan seperti OSS yang masih sering dikeluhkan dan bermasalah," ujarnya.

Baca juga, Menilai Jurus Pemerintah Undang Investasi

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement