REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -– Corporate Secretary and Chief Economist BNI Ryan Kiryanto memprediksi, Bank Indonesia (BI) masih akan menaikkan suku bunga acuan BI 7 day reverse repo rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi enam persen pada akhir tahun. Kebijakan ini dilakukan untuk mengantisipasi kenaikan suku bunga bank sentral Amerika, The Fed.
Ryan menjelaskan, kenaikan bunga The Fed akan menyelenggarakan The Federal Open Market Committee (FOMC) yang menjadi sidang terakhir mereka pada 2018. Dalam sidang, The Fed hampir dipastikan menaikkan fractional flow reserve (FFR).
"Implikasinya, sebagian bank-bank sentral di dunia akan ikut menaikkan suku bunga," ujarnya dalam acara diskusi di Kementerian Koperasi dan UKM, Jakarta, Rabu (7/11).
Kebijakan kenaikan suku bunga The Fed bukan tanpa alasan. Ryan mengatakan, kenaikan dilakukan untuk mengerem inflasi Amerika yang sudah berada di angka dua persen. Angka tersebut menjadi 'keramat' bagi Negeri Paman Sam karena berpotensi membahayakan ekonomi Amerika.
Ryan menambahkan, BI sebagai bank sentral negara berkembang akan berupaya menyesuaikan suku bunga acuannya. "Hal ini dilakukan agar risiko usaha dan nilai tukar rupiah terhadap dolar tidak mengalami tekanan yang berlanjut," ucapnya.
Sebelumnya, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 22-23 Oktober 2018 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 5,75 persen, suku bunga Deposit Facility sebesar 5,00 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,50 persen.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Agusman menjelaskan, keputusan tersebut konsisten dengan upaya untuk menurunkan defisit transaksi berjalan ke dalam batas aman. "Selain itu, untuk mempertahankan daya tarik pasar keuangan domestik sehingga dapat semakin memperkuat ketahanan eksternal Indonesia di tengah ketidakpastian global yang masih tinggi," ujarnya dalam keterangan resmi di situs BI, beberapa waktu lalu.
Agusman menjelaskan, Bank Indonesia juga terus menempuh strategi operasi moneter yang diarahkan untuk menjaga kecukupan likuiditas baik di pasar rupiah maupun pasar valas. Di samping itu, secara efektif memberlakukan transaksi Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF) mulai 1 November 2018.
Bank Indonesia akan terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah dan otoritas terkait untuk menjaga stabilitas ekonomi dan memperkuat ketahanan eksternal. Termasuk di antaranya untuk mendorong ekspor dan menurunkan impor sehingga defisit transaksi berjalan dapat menurun dengan prakiraan kisaran 2,5 persen PDB pada 2019.
Ke depan, Agus mengatakan, Bank Indonesia akan terus mencermati perkembangan perekonomian seperti defisit transaksi berjalan, nilai tukar, stabilitas sistem keuangan, dan inflasi. "Ini dilakukan untuk menempuh langkah lanjutan guna memastikan tetap terjaganya stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan," katanya.