REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nilai tukar rupiah diperkirakan dapat terus melemah. Pelemahan kurs rupiah bahkan diprediksi bisa menyentuh level Rp 15.200 per dolar AS pada akhir tahun.
Berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia (BI), mata uang rupiah turun ke level terendah Rp 15.133 per dolar AS pada hari Kamis (4/10), terlemah sejak krisis keuangan Asia pada Juli 1998. Sementara itu berdasarkan Bloomberg, rupiah pada pembukaan perdagangan hari ini berada di Rp 15.120 per dolar AS, dengan depresiasi sebesar 12,04 persen sejak awal tahun.
Baca juga, Luhut: Tak Perlu Risau Rupiah Rp 15 Ribu per Dolar AS
Ekonom dan Project Consultant ADB Institute Eric Sugandi menjelaskan, awal minggu ini rupiah tertekan karena kekhawatiran pelaku pasar finansial terhadap risiko membengkaknya defisit transaksi berjalan karena naiknya harga minyak. Sementara itu tekanan hari ini lebih karena menguatnya dolar AS yang ditunjukkan oleh kenaikan DXY index akibat data-data ekonomi AS yang menunjukkan baiknya kinerja ekonomi AS.
"Sampai akhir tahun 2018, rupiah pergerakannya saya perkirakan di antara Rp 14.800-Rp 15.200. BI akan tetap aktif intervensi untuk perkecil volatilitas rupiah," ujar Eric Sugandi kepada Republika.co.id, Kamis (4/10).
Salah satu upaya yang mungkin dilakukan oleh bank sentral yakni dengan kembali menaikkan suku bunga acuan. Sementara itu suku bunga acuan BI 7 Day Repo Rate telah dinaikkan sebanyak 100 bps dalam tahun ini. Pada bulan lalu, suku bunga acuan dinaikkan menjadi posisi 5,75 persen.
BI memang tidak menjaga rupiah pada nilai tukar tertentu karena Indonesia tidak menggunakan rezim nilai tukar tetap. "Jika bulan lalu BI 7 day Repo Rate tidak naik, rupiah bisa lebih tertekan dan volatile karena Fed Fund Rate naik," kata Eric.
Sementara itu, upaya pemerintah memperkecil defisit transaksi berjalan untuk memperbaiki daya topang terhadap rupiah butuh waktu untuk terlihat hasilnya.
Menurut Eric, selama share dana asing di saham dan surat berharga negara (SBN) masih signifikan dan selama defisit transaksi berjalan masih belum bisa diturunkan secara signifikan, rupiah akan tetap rentan terhadap tekanan faktor eksternal.
Melihat gejolak perekonomian global dan lemahnya kondisi fundamental ekonomi saat ini, ada kekhawatiran bahwa rupiah akan terus mengalami koreksi sampai 2020. "Rupiah untuk tahun ini ada dikisaran 15.200. Sangat sulit kembali ke bawah 14.800. Hingga 2020, The Fed akan menaikkan bunga acuan dan memicu capital reversal atau pembalikan modal," ujar Ekonom INDEF Bhima Yudhistira.
Tantangan ekonomi dalam negeri adalah meningkatnya defisit transaksi berjalan hingga 3,00 persen. Kenaikan defisit transaksi berjalan yang didorong melesatnya impor, baik migas dan non migas menyebabkan Indonesia hrus mengemis dana portfolio jangka pendek.
Pertumbuhan ekonomi yang stagnan di kisaran 5 persen juga menyebabkan pelaku pasar khawatir krisis semakin dekat. Apalagi berdasarkan prediksi JP Morgan pada tahun 2020 akan terjadi krisis skala global yang menghantam negara berkembang.
"Indonesia harus bersiap menghadapi kondisi terburuk," kata Bhima.
Sementara itu memasuki 2019, Rupiah sangat mungkin tertekan di 15.500. Apalagi waktunya menjelang Pemilu. Profil risiko Indonesia akan naik. Investor mengalihkan aset dari saham dan surat utang ke aset yang aman seperti dolar AS dan yen.
"Terjadi flight to quality. Perbankan kesulitan likuiditas. Kondisinya lebih buruk dari krisis 2008," ujar Bhima.