REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kawasan industri dinilai perlu menerapkan sistem keamanan terintegrasi di area non-produktif, seperti gudang, lorong sempit, atau jalur servis. Area tersebut dinilai kerap luput dari pengawasan sistem keamanan konvensional.
Deputy CEO Nawakara Satria Djaya mengatakan, terdapat sejumlah contoh insiden yang menunjukkan perlunya penguatan sistem keamanan kawasan industri. Pada tahun ini, kata dia, terdapat insiden seorang buruh pabrik pengolahan kayu di Lampung tewas terseret mesin. Kemudian, ada juga kasus pencurian sepeda motor oleh karyawan di area parkir internal sebuah pabrik garmen di Lamongan. Sementara pada 2025, seorang buruh pabrik pengolahan kayu di Lampung tewas terseret mesin.
Menurut dia, insiden-insiden itu mengungkap adanya titik rawan di lokasi kerja yang tidak terpantau secara aktif. Satria mengatakan, tantangan utama keamanan di sektor manufaktur bukan lagi soal jumlah personel atau pemasangan CCTV, tetapi apakah seluruh sistem pengamanan mampu berfungsi secara terintegrasi.
“Dalam banyak kasus yang kami temui, insiden tidak terjadi di area utama produksi, tapi justru di tempat yang tidak pernah dianggap berisiko,” kata Satria, Senin (14/7/2025).
Ia juga menyebut sistem keamanan yang tidak terintegrasi berpotensi mempengaruhi hasil audit standar seperti SMK3, ISO 45001, dan ISO 22301.
Menurut Satria, pendekatan keamanan aktif dan prediktif diperlukan untuk menekan risiko di kawasan industri. Beberapa teknologi yang mulai diterapkan di sektor ini mencakup Digital Patrol System, kamera pengawas berbasis AI, sistem akses kontrol biometrik, hingga pelatihan darurat dan audit berkala.
“Seringkali keamanan dianggap cukup hanya karena sudah ada sistemnya, padahal sistem yang tidak berfungsi efektif justru membuka celah risiko,” ujarnya.
Satria menambahkan bahwa sistem keamanan yang terkelola secara baik tidak hanya berfungsi sebagai pelindung aset dan keselamatan kerja, tetapi juga menciptakan lingkungan kerja yang lebih kondusif bagi produktivitas.