Selasa 11 Sep 2018 07:18 WIB

Bagaimana Dampak Pelemahan Rp 100 Bagi APBN? Ini Kata Sri

Menkeu menegaskan APBN tak dikelola berdasarkan untung dan rugi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani (kiri) bersama Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro (kanan) mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (10/9).
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Menteri Keuangan Sri Mulyani (kiri) bersama Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro (kanan) mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (10/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, pemerintah selalu mengelola APBN dengan baik. Ini agar instrumen fiskal bisa memberikan dampak positif kepada kinerja perekonomian secara keseluruhan.

"Kalau APBN sehat, kami bisa menggunakan instrumen ini agar ekonomi lebih baik lagi," ujar Sri Mulyani saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR membahas asumsi RAPBN 2019 di Jakarta, Senin.

Sri Mulyani mengatakan setiap perlemahan Rp 100 terhadap dolar AS sama-sama dapat memberikan kenaikan kepada penerimaan negara sebesar Rp 4,7 triliun serta belanja negara sebanyak Rp3,1 triliun.

Namun, ia menegaskan APBN tidak dikelola berdasarkan untung rugi. Pasalnya. instrumen fiskal ini dimanfaatkan sesuai fungsi stabilisasi, alokasi maupun distribusi yang bisa memberikan manfaat kepada kinerja perekonomian.

"Kita menjaga fiskal, tapi tetap hati-hati, karena dalam ketidakpastian ini, APBN harus menjadi instrumen untuk menjaga ekonomi melalui stabilisasi maupun alokasi dan distribusi agar tetap dinamis," ujarnya.

Baca juga, Rupiah Kembali Melemah, Ini Penjelasan Sri.

Dalam kesempatan ini, Sri Mulyani menyampaikan kinerja penerimaan negara yang hingga akhir Agustus 2018 tercatat telah tumbuh 18,4 persen. Dengan rincian penerimaan perpajakan tumbuh 16,5 persen dan penerimaan negara bukan pajak tumbuh 24,3 persen.

"Realisasi ini menunjukkan kenaikan yang sangat solid dan tumbuh tinggi, karena tahun lalu hingga Agustus, penerimaan perpajakan hanya tumbuh 9,5 persen dan penerimaan negara bukan pajak tumbuh 20,2 persen," ujarnya.

Sedangkan, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menambahkan, realisasi belanja negara pada periode yang sama tercatat tumbuh 8,8 persen. Angka ini lebih baik dari akhir Agustus 2017 yang hanya tercatat sebesar 5,6 persen.

Kondisi ini menyebabkan neraca keseimbangan primer tercatat surplus Rp11,5 triliun atau terjadi lonjakan tinggi dibandingkan periode akhir Agustus 2017 sebesar defisit Rp84 triliun. Hal itu berarti memperlihatkan pengelolaan APBN semakin sehat.

"Terjadi akselerasi belanja tinggi, dengan penerimaan yang jauh lebih tinggi, berarti primary balance positif Rp11,5 triliun, ini lonjakan sangat nyata," katanya

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement