REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara, Mahfud MD menilai ada skema judicial review yang bisa dilakukan oleh DPR jika DPR menilai landasan hukum holding tambang, PP 72 Tahun 2016 masih belum tepat. Mahfud menilai, hal ini bisa menjadi cara pembuktian dimana letak kekurangan dari landasan hukum tersebut.
Lantaran masih mengundang kontroversi dan penolakan, Mahfud bilang, tidak ada salahnya pihak-pihak yang mengaku dirugikan atas keberadaan PP 72/2016 untuk kembali melakukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA). Ini dilakukan untuk kembali membuktikan terkait keabsahan landasan hukum pembentukkan holding BUMN.
"DPR punya hak politik untuk judicial review dan silakan saja. Dulu teman-teman KAHMI (Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam) juga pernah mengajukan judical review di mana saya tanda-tangan di sana," ujar Mahfud, Kamis (23/11).
Sebelumnya, penolakan terhadap pembentukkan holding BUMN juga diutarakan beberapa anggota Komisi VI DPR yang sedianya menjadi mitra pemerintah dalam mengawasi kinerja BUMN.
Bambang Haryo, anggota Komisi VI DPR mengungkapkan, penolakan terhadap landasan holding BUMN dikarenakan PP 72/2016 dinilai akan mengkebiri fungsi pengawasan DPR terhadap BUMN-BUMN yang nantinya akan menjadi swasta pasca pelaksanaan holding.
"Di dalam PP 72/2016 itu dikatakan bahwa perubahan daripada aset ataupun penambahan kekayaan pemindahan dan sebagainya, itu tidak perlu melalui mekanisme pelaporan kepada DPR. Padahal BUMN kan perusahaan negara yang tentu semua perubahan daripada aset, ataupun penjualan saham dan lain-lain itu harus sepengetahuan atau seizin masyarakat yang diwakili oleh DPR," ujar Bambang.