REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Sekretaris Menteri BUMN Said Didu mengatakan, struktur perekonomian Indonesia justru lebih banyak dikuasai oleh konglomerat, alih-alih BUMN.
Hal ini membantah pernyataan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) yang menyebut perekonomian Indonesia saat ini terlalu didominasi oleh BUMN sampai cenderung monopolistik.
Said Didu mengatakan, selama ini banyak orang berusaha menggerogoti BUMN. "Dan saya melihat langkah sistemik dua pekan terakhir yang seakan-akan kalau dibiarkan akan terjadi persekusi terhadap BUMN," kata Said Didu dalam sebuah diskusi di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (7/10).
Said merujuk pernyataan Menko Maritim Luhut Pandjaitan dua pekan sebelumnya yang menyatakan sudah mengusulkan pada Presiden Jokowi untuk mengurangi dominasi ekonomi BUMN. Pernyataan itu, menurut Said, disambut oleh Kadin dengan nada yang sama. Ia melihat kedua pernyataan ini berlaku sistemik.
Said mengungkapkan, masalah dominasi BUMN yang disebut-sebut Kadin ini sebenarnya hanya masalah kalah konstruksi di daerah yang kemudian disampaikan di forum terbuka.
"Pernyataan bahwa BUMN sangat dominan, yang menguasai lahan di Indonesia 80 persen siapa sih. Yang menguasai tambang siapa sih. Yang menguasai perkebunan juga siapa sih kan swasta. Bukan BUMN sama sekali," ujar Said Didu.
Menurut Said, penguasaan ekonomi oleh konglomerasi di Indonesia justru jauh lebih dominan. BUMN hanya menguasai 5 persen tambang dan 6 persen perkebunan di Tanah Air. Padahal, menurut dia, ada satu konglomerat yang bahkan mempunyai luasan kebun sawit hampir sama dengan penguasaan kebun sawit seluruh BUMN.
"Pernahkah Kadin menyatakan itu dominan. Pernahkan KADIN menyatakan bagaimana dominasi asing mulai masuk. Tidak kan. Yang dianggap dominasi BUMN," cecar Said.
Menurut dia, publik harus menelaah struktur ekonomi Indonesia untuk melihat besarnya kekuatan konglomerasi dan asing. Sekitar 80-70 persen real estate di Jabodetabek dikuasai tidak lebih dari tiga orang, dan bukan oleh BUMN.
Said mengatakan, tidak masuk akal jika ada pihak-pihak meminta BUMN menjual aset-asetnya yang menguntungkan ke swasta. Ia membeberkan, ketika BUMN membuka ruang bagi swasta, kebanyakan yang masuk adalah perusahaan asing. Hal itu berlaku di sektor telekomunikasi, bank, pelabuhan, dan sebagainya.
Dengan nada blak-blakan, Said mengungkapkan beberapa penyebab kekalahan swasta dalam proyek-proyek pembangunan di daerah. Di antaranya, masalah politik, modal, kedekatan dengan pemerintah daerah, dan wanprestasi. "Tidak sedikit yang black list, sekali wan prestasi maka blacklist tiga tahun. Itu aturan," kata Said.
Sementara, pengurus KADIN Bidang BUMN Krisnaraga Syarfuan menjelaskan BUMN perlu menggandeng swasta dalam mengerjakan proyek-proyek pembangunan nasional. Krisna juga meminta BUMN tidak merambah ke usaha-usaha kecil di daerah yang dapat dikerjakan swasta dan UKM.