Selasa 06 Jun 2017 13:21 WIB

Pemerintah Jelaskan Alasan Patok Ekonomi 2018 Tumbuh Tinggi

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nur Aini
Menteri Keuangan Sri Mulyani
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Menteri Keuangan Sri Mulyani

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani kembali mendatangi kompleks parlemen Senayan untuk menghadiri Sidang Paripurna DPR untuk melanjutkan pembahasan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM dan PPKP). Sri menyampaikan tanggapan atas pandangan fraksi-fraksi yang telah disampaikan sebelumnya.

Dalam penjelasannya tentang asumsi pertumbuhan ekonomi misalnya, Sri menilai bahwa pertumbuhan harus mampu dipatok lebih tinggi untuk menggerakkan sektor riil, menyerap tenaga kerja, dan menekan angka kemiskinan dan kesenjangan ekonomi. Pemerintah memasang target pertumbuhan ekonomi untuk 2018 di tingkat 5,4 persen hingga 6,1 persen.

Menurut Sri, angka ini sudah mencerminkan optimisme sekaligus kehati-hatian pemerintah dalam mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Apalagi, ujarnya, pemerintah mempertimbangkan juga risiko yang berasal dari luar negeri. Pemerintah mengandalkan konsumsi rumah tangga, investasi, dan ekspor untuk mendorong pertumbuhan ke angka target yang disampaikan.

"Konsumsi rumah tangga dijaga untuk tumbuh 5,4 persen, melalui peningkatan kesempatan kerja, menjaga inflasi yang rendah dan dukungan belanja sosial," ujar Sri dalam paparannya di Sidang Paripurna, Selasa (6/6).

Selain itu, pemerintah memproyeksikan pertumbuhan investasi di angka 8 persen. Investasi ini, ujar Sri, diarahkan ke pengembangan infrastruktur dengan melibatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan swasta. Tak hanya itu, Sri meyakini adanya peningkatan peringkat rating lndonesia menjadi Investment Grade oleh Standard & Poor's (S&P) diharapkan memperbaiki kepercayaan swasta dan meningkatkan aliran modal masuk ke indonesia.

"Dengan peningkatan investasi maka kapasitas produksi meningkat dan lapangan kerja baru dapat diciptakan," katanya.

Sementara terkait asumsi lifting minyak dan gas bumi, Sri menegaskan bahwa pemerintah berupaya mencapai produksi dan lifting migas dengan menjalankan program kerja utama hulu migas. Menurutnya, investasi di sektor migas bisa ditingkatkan dengan mendorong perbaikan tata kelola di sektor hulu, memperbaiki payung hukum, pemberian insentif fiskal, penyederhanaan proses perizinan, dan peningkatan koordinasi.

"Pemerintah juga menyiapkan skema Kontrak Bagi Hasil Migas yang lebih efisien dan menguntungkan, baik bagi Pemerintah maupun Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS)," katanya.

Asumsi lifting minyak bumi yang diajukan pemerintah sebesar 771 ribu hinga 815 ribu barel per hari (bph), sementara untuk asumsi lifting gas bumi sebesar 1,19 juta barel setara minyak per hari (bsmph) hingga 1,23 juta bsmph. Asumsi tersebut didasarkan pada pertimbangan kapasitas produksi, tingkat penurunan alamiah, potensi tambahan produksi dari lapangan migas baru, serta potensi penurunan dari lapangan migas yang akan habis masa kontraknya.

Upaya peningkatan lifting minyak sulit dilakukan mengingat kegiatan eksplorasi yang ada belum menghasilkan penemuan sumur baru dalam skala besar, sementara lapangan minyak yang ada terus mengalami penurunan secara alamiah.

Selain itu, Sri mengungkapkan target penerimaan pajak yang dipasang pemerintah telah mempertimbangkan kondisi perekonomian yang membaik, kapasitas historis penerimaan perpajakan, dan upaya-upaya ekstra untuk meningkatkan penerimaan. Ia menjelaskan bahwa rasio perpajakan 2018 memanfaatkan hasil kebijakan pengampunan pajak yaitu perluasan basis pajak dan peningkatan kepatuhan wajib pajak, dan ditopang dengan langkah reformasi perpajakan secara berkelanjutan.

"Dengan berbagai pertimbangan tersebut, pemerintah berharap pada 2018 rasio perpajakan dapat mencapai 11-12 persen," katanya.

Tingkat inflasi dalam asumsi makro Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018 ditetapkan di level 3,5 persen plus minus 1 persen. "Tingkat inflasi yang rendah tidak saja mendorong perekonomian domestik untuk menjadi lebih efisien dan berdaya saing. Tetapi juga akan menjamin kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dan pada akhirnya akan memperbaiki tingkat kesejahteraannya," kata Sri.

Selain itu, Sri juga menambahkan bahwa stabilitas nilai tukar menjadi salah satu tantangan dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, nilai tukar rupiah yang bisa dijaga di level aman bisa meningkatkan kepercayaan pertumbuhan ekonomi. 

Namun, pemerintah masih melihat bahwa di tahun depan terdapat banyak hal yang menjadi tantangan dalam menjaga stabilitas dan pergerakan nilai tukar khususnya nilai tukar rupiah. Di antaranya adalah faktor dinamika ekonomi negara maju, termasuk normalisasi kebijakan moneter di Amerika Serikat dan Eropa, perkembangan ekonomi di China, faktor geo-politik serta keamanan regional dan dunia.

Karenanya, nilai tukar rupiah di tahun 2018 dipatok di rentang Rp 13.500 hingga Rp 13.800 per dolar AS. "Ketidakpastian global tersebut juga memengaruhi kondisi instrumen keuangan di pasar domestik," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement