REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Dunia (World Bank) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini akan sebesar 5,2 persen. Angka tersebut lebih baik dari pertumbuhan ekonomi nasional pada 2016 yang mencapai 5,0 persen.
Berdasarkan laporan terbaru Bank Dunia, pertumbuhan ekonomi itu didukung oleh harga komoditas yang lebih tinggi. Meski begitu, risiko ketidakpastian global serta dinamika fiskal tetap harus diperhatikan.
Laporan tersebut juga mengatakan, pondasi kekuatan ekonomi Tanah Air, di antaranya berkat tingkat pengangguran dan defisit neraca berjalan yang masih rendah, serta rendahnya tingkat inflasi. Dengan begitu, pertumbuhan riil pun berjalan baik, kebijakan moneter akomodatif, dan harga komoditas yang lebih tinggi membantu meningkatkan konsumsi rumah tangga serta investasi.
"Proyeksi ekonomi Indonesia pada 2017 akan positif. Indonesia bisa mempercepat pertumbuhan ekonomi dan memastikan pertumbuhan jangka panjang yang lebih kuat," ujar Kepala Perwakilan Bank Dunia di Indonesia Rodrigo Chaves, dalam acara 'Indonesia Economic Quarterly' di Jakarta, Rabu, (22/3).
Ia menambahkan, Bank Dunia memprediksi pula inflasi akan naik sementara pada tahun ini dari 3,5 persen pada 2016 menjadi 4,3 persen. Hal itu disebabkan naiknya tarif listrik dan pajak kendaraan.
Neraca defisit berjalan juga diperkirakan berada di titik terendah dalam lima tahun terakhir, yaitu 1,8 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), tidak berubah dari 2016. Penyebabnya adalah meningkatnya harga komoditas.
"Kemudian defisit anggaran pemerintah pusat diproyeksikan naik menjadi 2,6 persen dari PDB. Sebagian karena tingginya belanja investasi," jelas Chaves.
Ia menyatakan, laporan Bank Dunia yang baru diluncurkan tahun ini juga mengkaji mengenai perdagangan jasa. Dikatakan, Indonesia perlu mengurangi hambatan pada sektor jasa untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing. Menurut data dari Organization for Economic Cooperation and Development, Indonesia termasuk negara dengan hambatan perdagangan jasa terbanyak.