Senin 20 Mar 2017 18:59 WIB

Pasar Modal Diharapkan Sumbang Pembiayaan untuk Infrastruktur

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Budi Raharjo
Pengunjung melintas di dekat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Selasa (14/3).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Pengunjung melintas di dekat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Selasa (14/3).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan pasar modal dapat menjadi sumber pendanaan utama proyek infrastruktur. Pasalnya dari total dana kebutuhan pembangunan infrastruktur sebanyak Rp 1.000 triliun, hanya 30 persen atau sekitar Rp 387,2 triliun yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Selanjutnya sebanyak 11 persen diharapkan dari anggaran pemerintah daerah (APBD), 22 persen dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Lalu sisanya 37 persen dari sektor jasa keuangan, baik perbankan, Industri Keuangan Non Bank (IKNB), maupun pasar modal.

"Jadi 37 persen sisanya itu bukan hanya dari pasar modal tapi dari sektor keuangan lain seperti perbankan dan perusahaan pembiayaan. Ketiga sektor sektor ini harus bekerja sama karena dari nilai atau financing yang dibutuhkan saya rasa ada keterbatasan," jelas Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Nurhaida, kepada wartawan, di Gedung BI, Jakarta, Senin, (20/3).

Ia menjelaskan, untuk pembiayaan infrastruktur, pasar modal bentuknya adalah perusahaan infrastruktur yang bisa menerbitkan obligasi. Begitu pula perbankan, juga harus bisa menerbitkan obligasi untuk menyalurkan kredit.

Meski begitu, Nurhaida menyatakan dari porsi 37 persen tersebut, kontribusi pasar modal tidak bisa dihitung terpisah secara langsung. "Bisa saja pasar modal itu perusahaan-perusahaan terbuka seperti Wika, Hutama Karya. Ada juga perbankan, bisa saja menerbitkan obligasi lalu dananya untuk kredit ke perusahaan infrastruktur," jelasnya.

Ia menambahkan, OJK melihat secara keseluruhan mengenai berapa obligasi yang diterbitkan, dan berapa obligasi yang untuk proyek infrastruktur serta berapa obligasi yang disalurkan ke sektor lainnya. Nurhaida menyebutkan, tahun lalu total penerbitan obligasi ada peningkatan signifikan. Dari Rp 63 triliun pada 2015 menjadi Rp 116 triliun di 2016.

"Di 2017 ini kan masih awal. Biasanya penawaran umum itu sifatnya lebih ke arah triwulan dua," tambah Nurhaida. Menurutnya sudah ada beberapa obligasi yang sudah efektif dari OJK. Sedangkan beberapa sedang proses karena belum final, dan masih ada beberapa pembahasan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement