REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana pemerintah untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) diyakini akan memperbaiki peringkat Indonesia dalam Jurisdiction ratings yang diterbitkan oleh The Global Forum OECD. Peringkat ini menunjukkan pemenuhan syarat negara-negara dunia dalam mengaplikasikan pertukaran informasi perbankan dan keuangan.
Bila saat ini Indonesia masih di level ketiga, yakni partially compliant, maka penerbitan Perppu soal pertukaran informasi keuangan akan membawa Indonesia naik ke level kedua atau largely compliant. Indonesia bakal meninggalkan deretan negara-negara yang saat ini ratingnya setara seperti Kosta Rika, Samoa, dan Turki.
Sedangkan di level kedua, Indonesia bakal setara dengan negara-negara seperti Amerika Serikat (AS), Malaysia, Inggris, Singapura, dan Swiss. Di level teratas atau compliant, masih bertengger negara-negara dengan pemenuhan pertukaran informasi keuangan yang mumpuni seperti Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Kanada.
Pemeringkatan yang dibuat OECD ini khusus untuk pertukaran data keuangan berdasarkan permintaan atau by request. Meski begitu, perbaikan peringkat akan mendorong Indonesia bisa diterima dalam jajaran negara yang akan mengaplikasikan Otomatasiasi Keterbukaan Informasi keuangan (AEoI) di tahun 2018 mendatang.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Hestu Yoga Saksama menjelaskan bahwa keikutsertaan Indonesia dalam AEoI merupakan keharusan. Alasannya, negara-negara di dunia saat ini menghadapi permasalahan yang sama yakni penghindaran pajak oleh wajib pajak di negara masing-masing.
AEoI, lanjutnya, menjadi peluang bagi pemerintah untuk menarik pajak dari wajib pajak yang masih mengendapkan hartanya di luar negeri tanpa ada pelaporan. "Makanya dalam konteks ini kita target semua lulus, termasuk soal IT. Di Indonesia misalnya dari sini (Ditjen Pajak) ke OJK (Otoritas Jasa Keuangan), OJK ke perbankan, semuanya akan by IT. Kita harus lulus. Karena kalau ga lulus kita rugi, kita wajib berikan (data) namun kita ga dapat (data) dari negara lain," kata Hestu di kantornya, Kamis (16/3).
Seperti diketahui, pertukaran informasi terdiri dari tiga jenis yakni pertukaran berdasarkan permintaan negara asal wajib pajak (by request), pertukaran secara spontan (spontaneous), dan pertukaran secara otomatis (automatic).
Pertukaran secara spontan dilakukan oleh suatu negara bila menemukan bahan penguat terkait hasil pemeriksaan, penyidikan, keberatan, dan penelitian atas satu wajib pajak dari negara lain. Otoritas pajak suatau negara yang menemukan hal tersebut memiliki kewajiban mengirim datanya ke negara yang bersangkutan tanpa diminta.
Begitu pula apabila Indonesia menemukan satu transaksi mencurigakan atas satu WNA yang dilakukan di Indonesia, maka Indonesia memiliki kewajiban untuk mengirim datanya ke negara asal wajib pajak. Artinya, pelaporan diberikan bila menyangkut soal tindak lanjut suatu proses hukum yang sudah dilakukan.
Terakhir, pertukaran informasi keuangan secara otomatis dilakukan tanpa menunggu adanya temuan-temuan terkait penyelidikan. Informasi nantinya dipertukarkan secara otomatis begitu tercatat dalam administrasi otoritas pajak suatu negara.
"Jumlah laporan yang kami dapat dari otoritas pajak negara lain bikin saya cukup kaget, wuih ini banyak sekali. Nanti ditindaklanjuti oleh KPP. Tapi nggak boleh kan nyebutin, karena ini rahasia," katanya.