REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Riset Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Piter Abdullah menuturkan, kebijakan Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan suku bunga acuan belum berdampak secara signifikan ke sektor keuangan Indonesia. Sebab, kebijakan itu belum diiringi dengan penurunan suku bunga deposito dan kredit.
Piter menjelaskan, persoalan suku bunga kredit perbankan memiliki pengaruh sangat erat terhadap pertumbuhan investasi hingga pertumbuhan konsumsi. Seperti diketahui, keduanya merupakan mesin utama pertumbuhan ekonomi. "Tanpa keduanya, sulit berharap ekonomi kita dapat lompat," ujarnya dalam acara Core Economic Outlook 2020 di Jakarta, Rabu (20/11).
Pada 2015, Piter mengatakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat menyampaikan targetnya untuk memangkas suku bunga kredit sampai satu digit. Tapi, realisasinya belum dapat tercapai hingga saat ini.
Di satu sisi, Piter menggambarkan bahwa kebijakan moneter BI sudah menunjukkan arah yang lebih pro growth atau fokus mendorong pertumbuhan ekonomi. Arah ini terlihat jelas sejak awal tahun meski belum dalam bentuk penurunan suku bunga. "BI sudah balance antara kontraksi dan ekspansi yang kemudian dilanjutkan dengan pelonggaran GWM (Giro Wajib Minimum)," tuturnya.
Sejak Juli, BI melanjutkan pelonggaran dengan menurunkan subung acuan selama empat bulan berturut turut. Piter menyebutkan, secara total, penurunan tersebut sudah mencapai 100 basis poin. Ini menggambarkan kebijakan moneter untuk mendukung pertumbuhan ekonomi domestik dalam merespon perlambatan ekonomi global
Sedangkan, pada 2019, penurunan suku bunga kredit masih lambat. Bahkan, menurut Piter, masih jauh lebih lambat dibandingkan 2016 dan 2017.
Dengan tren yang berbeda antara penurunan suku bunga acuan BI dengan suku bunga kredit perbankan, Piter menjelaskan, likuiditas semakin mengetat. Persaingan merebutkan dana di pasar kian tinggi. "Tidak hanya bank, pemerintah juga berebut dengan menerbitkan surat berharga ritel," ujarnya.
Diketahui, sepanjang 2019, pemerintah melalui Kementerian Keuangan menerbitkan 10 Saving Bonds Ritel (SBR) untuk masyarakat Indonesia. Jumlah ini diperkirakan akan sama diterapkan pada tahun depan.
Selain dari sisi moneter, Piter mengatakan, kebijakan pro growth akan lebih efektif apabila diimbangi dengan kebijakan fiskal yang lebih longgar. Menurutnya, apabila langkah pemerintah masih sama seperti sekarang ini, dampak ke ekonomi akan terbatas. Khususnya terhadap pertumbuhan kredit.
"Kami perkirakan pertumbuhan kredit di kisaran 10-12 persen, tidak mengalami lompatan," tutur Piter.