REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pakar Hukum Pertambangan Ahmad Redi menuturkan PT Freeport Indonesia memiliki tradisi pelanggaran yang banyak. Sehingga, kalau Freeport bersikeras membawa masalah perubahan Kontrak Karya (KK) menjadi IUPK ini ke Mahkamah Arbitrase Internasional, pemerintah tetap memiliki posisi tawar yang kuat.
Redi menjelaskan, setidaknya ada dua hal yang kemungkinan akan dituntut Freeport di arbitrase internasional kepada pemerintah Indonesia. Pertama, Freeport ingin hak-haknya dipenuhi sesuai Kontrak Karya (KK). Di antaranya, soal bea keluar yang tidak perlu dibayarkan perusahaan karena tidak diatur dalam KK.
Juga, mengenai pembangunan smelter yang harus dikembalikan pada KK dan bukan mengacu pada pasal 170 UU 4/2009. "Tuntutan kedua mereka juga nanti akan meminta ganti rugi atas hak-hak yang tidak dipenuhi pemerintah dalam KK," kata dia, di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (25/2).
Namun, menurut Redi, pelanggaran Freeport terhadap KK tahun 1991 tersebut juga tergolong banyak. Misalnya, berdasarkan pasal 24 dalam KK itu, ujar dia, ada kewajiban perusahaan untuk memberikan divestasi kepada pemerintah Indonesia.
Aturan dalam KK itu juga menyebutkan divestasi untuk pemerintah Indonesia harus sudah 51 persen dalam kurun waktu 20 tahun sejak 1991, tepatnya pada Desember 2011 lalu. Tapi sampai saat ini pemerintah hanya mempunyai 9,36 persen saham di Freeport.
"Di KK 1991, Freeport ini sudah diwajibkan untuk divestasi paling tidak 2011 itu sudah 51 persen. Tapi apa yang terjadi, mereka hanya memberikan divestasi 9 persen. Mereka menawarkan dengan harga yang membabi buta, selangit. Mereka tidak mau menggunakan harga yang disepakati dengan pemerintah," kata dia.
Selain itu, Redi juga memaparkan di pasal 10 ayat 4 dalam KK, juga sudah diatur tentang pembangunan smelter oleh Freeport, yang kemudian dipertegas dengan adanya pasal 170 UU 4/2009. Pasal 170 ini menyebut pembangunan smelter ini dilakukan 5 tahun setelah UU tersebut diundangkan, yakni 2014.
"Tapi apa yang terjadi, 2014 itu terjadi kisruh, mereka tetap enggak mau bangun, dengan segala ancaman akan mem-PHK dan sebagainya," ujar dia.
Dalam kondisi demikian, pemerintah saat itu, di mana Menteri ESDM-nya masih dijabat Jero Wacik, mengeluarkan peraturan menteri (permen) nomor 1 2014 pada 11 Januari 2014. Permen ini membahas lebih detail tentang besaran kandungan mineral yang harus dimurnikan di dalam negeri.
Akibat terbitnya permen tersebut, selama 6 bulan kemudian, Freeport sempat tutup beroperasi. Negosiasi antara perusahaan dan pemerintah pun kembali dilakukan. Hingga akhirnya, pemerintah membuat nota kesepahaman dengan Freeport soal izin ekspor itu. "Bahwa ada jaminan kesungguhan dari Freeport untuk bangun smelter," ujar dia.
Redi melanjutkan, pasal 23 dalam KK tersebut, juga mengatur tentang kewajiban Freeport untuk menaati hukum nasional dari waktu ke waktu. Menurut dia, pasal tersebut kata kunci yang membuat Freeport harus mengikuti berbagai aturan di Indonesia.
"Ini hukum nasional sepanjang waktu, dari waktu ke waktu. Ketika UU 4/2009 itu muncul, harus (ditaati), ada kewajiban divestasi saham, wajib bangun smelter, ada kewajiban peningkatan nilai tambah dan sebagainya, mereka menyesuaikan dengan itu, karena from time to time itu harus taat," kata dia.