Rabu 18 Jan 2017 13:18 WIB

Koalisi Masyarakat Sipil Desak Jokowi Batalkan Relaksasi Ekspor Mineral

Rep: Frederikus Bata/ Red: Nidia Zuraya
 Petugas menunjukan hasil akhir produksi konsentrat barang hasil pertambangan. ilustrasi (Republika/Raisan Al Farisi)
Petugas menunjukan hasil akhir produksi konsentrat barang hasil pertambangan. ilustrasi (Republika/Raisan Al Farisi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Koalisi Masyarakat Sipil Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mendesak pemerintah untuk membatalkan kebijakan pelonggaran (relaksasi) ekspor pertambangan mineral, baik untuk ekspor bahan mentah (ore material) maupun konsentrat. Koordinator Nasional PWYP Indonesia, Maryati Abdullah menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus mencabut kembali Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat Atas PP Nomor 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. 

Jokowi, lanjut Maryati perlu memerintahkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan untuk mencabut Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 5/2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri.  Peraturan lainnya yang harus dicabut asalah Permen ESDM No.6/2017 tentang Tata Cara Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian.

Menurut PWYP, Ketiga beleid yang diterbitkan pada 11 Januari 2017 tersebut, memberikan jalan bagi pemerintah untuk memberikan izin ekspor nikel dan bauksit yang belum dimurnikan atau berkadar rendah, yaitu nikel berkadar di bawah 1,7 persen dan bauksit yang telah dilakukan pencucian (keduanya dapat dikategorikan sebagai bahan mentah). 

Baca: Pelonggaran Ekspor Konsentrat: Jepang Sambut Baik, Cina Meradang

PWYP melihat  beleid ini memberi peluang perubahan status perusahaan tambang dari Kontrak Kerja (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan IUP Khusus (IUPK), tanpa melalui proses yang telah ditetapkan oleh UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Kemudian beleid ini juga memberikan kelonggaran bagi IUPK untuk melakukan ekspor konsentrat hingga 5 (lima) tahun ke depan.

“Pemerintah telah terang-terangan mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan amanat UU Minerba pasal 102 dan 103 yang mewajibkan perusahaan minerba untuk melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri. Sekaligus bertentangan dengan pasal 170 yang mewajibkan seluruh pemegang KK yang sudah berproduksi untuk melakukan pemurnian selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak UU Minerba diundangkan pada tahun 2009," papar Maryati lewat siaran pers tertulis, Rabu (18/1).

Maryati menilai pemerintah tidak tunduk terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 10/PUU-XII/2014 yang memperkuat kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dan menyatakan bahwa semangat UU Minerba sejalan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 karena kewajiban ini secara langsung maupun tidak langsung memberikan manfaat sebesar -besarnya bagi kemakmuran rakyat.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement