Senin 16 Jan 2017 08:48 WIB

Pelonggaran Ekspor Konsentrat: Jepang Sambut Baik, Cina Meradang

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nidia Zuraya
 Petugas menunjukan hasil akhir produksi konsentrat barang hasil pertambangan. ilustrasi (Republika/Raisan Al Farisi)
Petugas menunjukan hasil akhir produksi konsentrat barang hasil pertambangan. ilustrasi (Republika/Raisan Al Farisi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Jepang menyambut baik kebijakan pemerintah Indonesia untuk kembali melonggarkan ekspor konsentrat mineral tambang. Sikap berbeda justeru ditujukan oleh pemerintah Cina.

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong menyebutkan, pelaku usaha pertambangan di Jepang senang dengan kebijakan ini lantaran mereka kebanyakan memiliki unit pengolahan dan pemurnian mineral atau smelter di dalam negeri mereka.

"Jepang tak banyak investasi di biang smelter di Indonesia. Kebanyakan mereka punya di Jepang. Jadi mereka senang. Justru pas kemarin dilarang, smelter mereka bangkrut," ujar Thomas usai menyambut rombongan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe di Fairmont Hotel, Jakarta, Ahad (15/1).

Sementara itu, Thomas melanjutkan, Cina yang banyak melakukan investasi smelter di Indonesia justru meradang. Alasannya, perpanjangangan pelonggaran ekspor konsentrat tentu membuat investasi mereka selama ini belum menghasilkan.

"Jadi dengan dilonggarkan Jepang senang namun Cina nggak senang karena yang banyak investasi smelter di Indonesia adalah Cina," katanya.

(Baca: Ini Alasan Jokowi Melonggarkan Aturan Ekspor Konsentrat)

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menjelaskan, langkah pemerintah untuk memberi sedikit kelonggaran ini berlatar pemahaman bahwa investasi untuk membangun fasilitas pemurnian mineral tambang atau smelter tidak lah murah dan mudah.

Nantinya, sejalan dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Mineral dan Batu Bara, pemerintah akan secara berkala mengecek perkembangan pembangunan smelter untuk setiap IUP dan IUPK.

Kompensasi dari komitmen atas smelter ini kemudian dituangkan dalam kewajiban pembayaran bea keluar. Tarif bea keluar sendiri belum diputuskan oleh Kementerian Keuangan, namun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) merilis Permen ESDM nomor 5 tahun 2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di dalam Negeri, yang di dalamnya menyebut tarif bea keluar maksimum 10 persen.

"Investasi memang mahal. Itu sebabnya kelonggaran diberikan, tentu dengan adanya indikator setiap tahunnya," ujar Darmin.

Darmin menambahkan, pembangunan smelter ini memang tidak bisa diselesaikan secara cepat. Paling tidak, dibutuhkan 4 hingga 5 tahun untuk merampungkan pembangunan smelter. Meski ada pelonggaran atas izin ekpsor konsentrat, namun Darmin menegaskan bahwa pemerintah akan terus memantau komitmen setiap pelaku usaha pertambangan untuk menyelesaikan smelternya. 

Menurut Darmin, ke depannya hanya yang memenag IUP dan IUPK saja yang berhak mengajukan perpanjangan izin ekspor. "Cuma bedanya, kalau dulu, kalau ngga dibikin langsung dicabut, tapi nggak nyabut-nyabut juga kita. Tapi kalau ekspornya distop bisa. Jadi ini sanksinya ekspornya disetop," kata dia.

Tak hanya itu, Darmin juga menegaskan bahwa setiap pemegang IUP dan IUPK harus melaksanakan divestasi sahamnya paling tidak 51 persen. Angka ini harus terwujud 10 tahun setelah masa produksi dimulai.

"Ini komitmen dia loh. Kalau ga ada komitmen dari dia tidak bisa. Mengekspor pun tidak bisa. Jadi dibalik sekarang, harus ada komitmen," ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement