REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah memutuskan untuk melonggarkan ekspor konsentrat dengan aturan main yang jauh lebih ketat. Izin ekspor konsentrat hanya diberikan kepada pelaku usaha pertambangan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Sedangkan pemegang Kontrak Karya (KK), seperti PT Freeport Indonesia, harus mengubah statusnya menjadi IUPK bila ingin melanjutkan kegiatan ekspornya.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menjelaskan, langkah pemerintah untuk memberi sedikit kelonggaran ini berlatar pemahaman bahwa investasi untuk membangun fasilitas pemurnian mineral tambang atau smelter tidak lah murah dan mudah. Nantinya, sejalan dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Mineral dan Batu Bara, pemerintah akan secara berkala mengecek perkembangan pembangunan smelter untuk setiap IUP dan IUPK.
Kompensasi dari komitmen atas smelter ini kemudian dituangkan dalam kewajiban pembayaran bea keluar. Tarif bea keluar sendiri belum diputuskan oleh Kementerian Keuangan, namun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) merilis Permen ESDM nomor 5 tahun 2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di dalam Negeri, yang di dalamnya menyebut tarif bea keluar maksimum 10 persen.
"Investasi memang mahal. Itu sebabnya kelonggaran diberikan, tentu dengan adanya indikator setiap tahunnya," ujar Darmin di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jumat (13/1).
Darmin menambahkan, pembangunan smelter ini memang tidak bisa diselesaikan secara cepat. Paling tidak, dibutuhkan 4 hingga 5 tahun untuk merampungkan pembangunan smelter.