REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kenaikan harga pengurusan surat tanda nomor kendaraan (STNK) dan buku pemilik kendaran bermotor (BPKB) mulai awal 2017 dianggap tidak tepat. Sebab kenaikan ini akan mempengaruhi anggaran masyarakat untuk berbelanja dan memenuhi konsumsi rumah tangga.
Pengamat ekonomi Enny Sri Hartati mengatakan, kenaikan harga pembayaran ini tidak sejalan dengan keinginan Pemerintah dalam menggenjot pertumbuhan ekonomi. Sebab, konsumsi rumah tangga merupakan salah satu instrumen dalam meningkatkan perekonomian, saat ini justru terganjal dengan sejumlah kenaikan harga termasuk dengan pungutan untuk STNK dan BPKB.
"Nah ini Pemerintah seharusnya menjaga konsumsi rumah tangga. Jangan ada kebijakan yang output menggangu konsumsi rumah tangga. Kalau seperti ini kita tidak tahu kedepannya akan seperti apa," katanya, Jumat (6/1).
Direktur INDEF ini menjelaskan, kondisi perekomian eksternal yang belum tumbuh optimal seharusnya dipertimbangkan secara baik oleh Pemerintah untuk menjalankan kebijakan ini. Terlebih masyarakat saat ini akan disulitkan dengan sejumlah harga bahan pokok yang stabil tinggi, bahkan beberapa komoditas seperti cabai dan daging sapi harganya terus melambung.
Menurut Enny, keinginan kepolisian memperbaiki kinerja pengurusan STNK dan BPKB dengan sistem online yang didapatkan dari peningkatan pungutan ini baiknya tidak dilakukan, karena kebijakan ini sangat berpengaruh pada mayoritas masyarakat dengan kendaraan yang dimiliki.
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) seharusnya mencari pendapatan dari sektor lain, untuk disalurkan guna perbaikan kapasitas kinerja kepolisian.
"Dari dulu masyarakat dipunguti pajak tapi penerapan untuk perbaikan kualitasnya selalu tunggu dulu, tunggu dulu. Nanti ganti Pemerintahan malah ada perubahan regulasi lagi," ujarnya.