Selasa 06 Dec 2016 10:28 WIB

Kementan Beri Tanggapan Kritik Faisal Basri Soal Kesejahteraan Petani

Rep: Melisa Riska Putri/ Red: Nur Aini
Faisal Basri
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Faisal Basri

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Kepala Subbidang Data Sosial Ekonomi Kementerian Pertanian, Ana Astrid menyebut pengamat ekonomi Faisal Basri tidak memahami alias gagal paham tentang nilai tukar petani (NTP) sebagai indikator kesejahteraan petani. Sebelumnya, kata dia, Faisal Basri mengatakan anjloknya kesejahteraan petani bisa dilihat dari turunnya indeks nilai tukar petani (NTP) yang menghitung rasio antara indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar petani yang dinyatakan dalam persentase

"Ini pemahaman yang gagal dan keliru sehingga menyesatkan masyarakat," katanya melalui keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Selasa (6/12).

Ia menjelaskan, yang benar penurunan nilai tukar petani (NTP) pada November 2016 adalah fenomena bulanan pada beberapa subsektor dan biasanya pada Desember akan meningkat lagi. Ia mengatakan, untuk tidak terpaku pada satu indikator NTP saja dalam menganalisis kesejahteraan petani. Indeks harga berfluktuasi secara harian dan bulanan. Dengan begitu untuk melihat kemampuan daya beli petani, ia mengatakan, semestinya tidak hanya membandingkan NTP waktu sesaat sebulan. "Tetapi juga lihat Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP) dalam kurung waktu panjang," katanya.

Ia mengakui, secara keseluruhan NTP November 2016 mengalami sedikit penurunan, tetapi hal tersebut merupakan fenomena bulanan pada beberapa subsektor. Menurutnya, untuk melihat kemampuan petani dalam memenuhi kebutuhan usaha pertaniannya, perlu menggunakan indikator Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP). Berdasarkan data yang dimiliki Ana, NTUP seluruh subsektor positif di atas 100.

"NTUP pada 2015 sebesar 109,38 dan rerata 2016 sebesar 109,86. NTUP ini meningkat dari bulan ke bulan dan tahun ke tahun," ujar dia.

Berdasarkan data BPS, penduduk miskin di pedesaan pada Maret 2016 sebanyak 17,67 juta jiwa, turun 0,22 juta jiwa dibandingkan September 2015. Sebelumnya pada periode September 2015, jumlah penduduk miskin di pedesaan sebanyak 17,89 juta jiwa turun 46 ribu dari 17,94 juta jiwa pada Maret 2015.

Tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk di pedesaan diukur rasio gini atau indeks gini data BPS. Gini rasio di pedesaan Maret 2016 sebesar 0,327, menurun 0,007 poin dibanding rasio gini Maret 2015 sebesar 0,334. Angka ini juga menurun 0,002 poin dibanding rasio September 2015 sebesar 0,329.  

"Ini kan menunjukkan tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk di desa semakin kecil. Jadi, sangat disayangkan pernyataan Faisal Basri yang tidak mampu membaca data yang sudah sangat jelas sehingga dia tidak mengerti apa saja keberhasilan yang telah dicapai dalam pembangunan pertanian Indonesia selama ini," kata Ana.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement